Minggu

FATWA BUYA HAMKA TENTANG MEMELIHARA ANJING



KERAPKALI yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENJAGA RUMAH YANG SETIA

"Dan tidaklah ada satu pun dari binatang di bumi dan tidak (pula) satu pun yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan adalah mereka itu umat-umat seperti kamu." (al-An'aam pangkal ayat 38). 

Tersebutlah dalam hadits lain yang shahih juga, supaya anjing penjaga kebun, penjaga ternak, boleh terus dipelihara. Tentu termasuk juga penjaga rumah yang setia.

Dalam ayat telah diterangkan bahwa seluruh yang melata, menjalar, dan merangkak di bumi, dan seluruh yang terbang di udara, semuanya kelak akan dikumpulkan di hadapan Tuhan, sebagai manusia juga.

"Dan (ingatlah) tatkala binatang-binatang buas pun dikumpulkan." (at-Takwiir: 5).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 143, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Saya heran, lho Buya HAMKA kok di depan (rumah) ada anjingnya, padahal Buya HAMKA seorang ulama.

Memang dia diejek oleh ulama-ulama NU bahwa dia itu Kiai anjing.

yapthiamhien.org/index.php?find=news_detail&id=245

Banyaklah ahli-ahli fiqih yang menjadi kasar budinya, suka berdebat berkaruk harang, menuduh ini bid'ah, ini tidak sah, padahal kekhusyukannya kepada Allah amat tipis.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 446, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BEDUK

HADRATISY-SYAIKH Kiyai Haji Hasyim Asy'ari adalah neneknya Nahdlatul Ulama.

Syaikh Hasyim Asy'ari menyatakan
fahamnya bahwa memukul Beduk memanggil orang sembahyang adalah menyerupai naqus (lonceng) orang Kristen, sebab itu maka Bid'ah dhalalah hukumnya.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 56-81, Penerbit Galata Media, Cet.I, 2018).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah saw., kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah saw., dan ketiga dari penafsiran tabi'in.

Pendeknya, yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa Bid'ah dalam agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 32, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

*Tiada Dalil Anjing Najis - Imam Bukhari, Imam Nawawi (Madzhab Syafi'i).

https://youtu.be/x_demkU2v_M
https://youtu.be/hI7EXz8RBJo

Dr. Rozaimi Ramle - Perbezaan Pendapat 4 Madzhab Dalam Menentukan Anjing Najis (Madzhab Maliki Tidak Najis).

https://youtu.be/fVUu3qqLGh0

Pandangan Madzhab Maliki yang menyatakan kesucian babi ketika dalam kondisi hidup dapat kita rujuk pada salah satu kitab rujukan Madzhab Maliki, yaitu kitab Asy-Syarhul Kabir yang ditulis Ad-Dardiri.

Di situ tampak jelas dikatakan termasuk yang suci adalah semua binatang yang hidup, baik bintang darat maupun laut, anjing maupun babi.

Karena hukum asalnya semua yang hidup adalah suci.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.

Semoga dapat dipahami dengan baik.

Sikapi semua perbedaan dengan bijak.

http://www.nu.or.id/post/read/71753/pandangan-sejumlah-ulama-perihal-status-najis-babi

DAGING ANJING

PERTANYAAN

2. Kami pernah mendengar suatu keterangan dari sebagian Islam bahwa daging anjing tidak haram dimakan, tetapi hanya makruh.

Sebab di dalam Al-Qur'an tidak ada satu ayat pun yang melarang daging anjing, tidak sebagaimana larangan terhadap daging babi.

Bagaimana pendapat Pimpinan Panjimas terhadap kedua-dua soalan ini?

(Kedua-dua pertanyaan ini dikemukakan oleh salah seorang anggota pengajian hari Ahad di Masjid Agung al-Azhar, Minggu ke 13,1976).

JAWABAN (ringkasan)

Teranglah sekarang bahwa binatang yang bertaring, yang termasuk di dalamnya anjing, babi dan babi hutan, kucing, singa, harimau, beruang, musang, trenggiling dan seumpamanya, adalah telah dilarang semuanya oleh Nabi kita saw. dengan hadits yang shahih.

Jika ada dua orang sahabat (Ibnu Abbas dan Aisyah) atau seorang Imam (Imam Malik bin Anas) mengatakan makruh, imam-imam yang lain menyatakan haram, dan Nabi sendiri pun dalam haditsnya yang dirawikan oleh at-Tirmidzi dan Miqdam bin Ma'-adikariba tadi menjelaskan apa yang beliau haramkan sama dengan apa yang diharamkan Allah.

Jika sekarang ada di Indonesia orang mengatakan bahwa makan daging anjing makruh saja, niscaya itu adalah ijtihad beliau.

Menurut kaidah ushul fiqih, ijtihad mereka itu tidak dapat mematahkan ijtihad kita (Panjimas) Bab 335.

"Bahwa daging anjing masih sama haramnya dengan babi."

Kami ambil kesimpulan:

"Daging anjing sama haramnya dengan daging babi," yang mengharamkannya adalah Rasulullah saw. sendiri.

Wallahu a'lam bish shawab.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 346, 352-353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KAIDAH USHUL FIQIH

Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih:

"Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus."

Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 719, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMELIHARA ANJING

"Mereka bertanya kepada engkau apakah yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah, 'Telah dihalalkan bagi kamu yang baik-baik dan apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap, padahal telah kamu biasakan mereka berburu, yang kamu ajar mereka daripada apa yang diajarkan Allah kepada kamu. Maka, makanlah apa yang mereka tangkap buat kamu dan sebutlah nama Allah atasnya dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah amat cepat perkiraan-Nya.'" (al-Maa'idah: 4).

Apabila kita menyelidiki ayat yang tengah kita tafsirkan ini dengan saksama dan mendalam, kita mendapat kesimpulan bahwasanya beberapa binatang, termasuk anjing, boleh diajar dan dipergunakan buat berburu. Dan hasil perburuan yang ditangkap oleh binatang yang telah diajar itu disebut mukallibiina, artinya ialah mengajar dan mendidik beberapa binatang buat berburu. Kalimat mukallibiina diambil dari kalimat kilab, artinya anjing, sebab yang terbanyak dipakai buat itu ialah anjing. Sebab itulah maka diambil dari pokok kata kilab, karena itu banyak terpakai.

Menurut satu riwayat dari Ibnu Abi Hatim, diterimanya dari Sa'id bin Jubair, diterimanya pula dari Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhalhil, keduanya orang Thaif, sebab turun ayat ini ialah bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhalhil ini pernah datang kepada Rasulullah saw. menanyakan, "Ya Rasulullah! Kalau tadi engkau menerangkan makanan yang haram kami makan, sekarang kami mohon pula bertanya mana makanan yang halal." Lalu turunlah ayat ini, "Mereka bertanya kepada engkau manakah yang dihalalkan? "Katakanlah, 'Dihalalkan bagi kamu mana yang baik-baik.'" Sampai terakhir ayat. Said menjelaskan, yaitu sembelihan yang halal, sebab tadi sudah diterangkan mana yang haram, kami sekarang ingin diterangkan pula mana yang halal. Maka datanglah penjelasan bahwa yang halal ialah yang baik-baik dan di antara yang baik-baik itu ialah hasil perburuan yang didapat dengan perantaraan binatang-binatang, termasuk anjing, yang telah diajar buat berburu. Jelas disini bahwasanya memelihara anjing buat berburu tidaklah terlarang. Malahan salah satu makanan yang halal ialah hasil perburuan yang dibawa oleh anjing itu.

Menurut satu riwayat lagi yang disampaikan oleh Ibnu Hatim juga, tentang sebab turunnya ayat ini, ialah satu riwayat dari Abu Rafi, Maula Rasulullah saw. Abu Rafi menceritakan bahwa dia pernah disuruh oleh Rasulullah saw. membunuhi segala anjing, lalu dibunuhinya. Maka datanglah banyak orang kepada Rasulullah saw. bertanya, "Apakah lagi yang halal bagi kami dari umat yang telah engkau suruh membunuhinya ini?" Rasulullah berdiam sejenak. Lalu turunlah ayat ini, "Mereka bertanya kepada engkau dari hal manakah yang dihalalkan?" Sampai terakhir ayat. Setelah itu berkatalah Rasulullah saw., "Apabila seseorang menghalaukan anjing dengan membaca, 'Bismillah', lalu anjing itu menggunggung buruan itu kepadanya, maka boleh dia makan apa yang tidak dimakan oleh anjing itu." Dari keterangan ayat ini jelas bahwa boleh memelihara anjing yang diajar berburu bahkan boleh memakan buruan yang digunggung anjing itu kembali kepada tuannya sekadarkan ditinggalkan saja dari apa yang telah digigitnya, maka Imam Malik mengeluarkan pendirian yang tegas, bahwasanya ayat yang mengandung kata mukallibiina telah kuat daripada hadits yang menyuruh membasuh 7 kali, sekali dengan tanah, terhadap bejana yang dijilat anjing. Beliau bertanya, "Kalau binatang buruan yang dibawa oleh anjing itu halal dimakan menurut Al-Qur'an, mengapa air ludahnya dibenci, sehingga jadi wajib membasuh bejana yang dijilatnya 7 kali?"

Tetapi timbul satu masalah yang rumit tentang memelihara anjing itu. Menurut beberapa riwayat, di antaranya dari Ibnu Jarir yang diterimanya dari khadam Rasulullah yang bernama Abu Rafi tadi, bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril datang, dan dia terus meminta izin kepada Rasulullah hendak masuk ke rumah beliau. Lalu Rasulullah berkata, "Engkau telah aku izinkan masuk ke dalam rumahku. wahai utusan Allah!" Lalu Jibril menjawab, "Itu memang! Tetapi kami tidak mau masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing." Berkata Abu Rafi, "Setelah mendapat jawaban yang demikian dari Jibril, maka Rasulullah memerintahkan daku membunuhi sekalian anjing yang ada dalam kota Madinah, sehingga sampailah aku kepada seorang perempuan yang memelihara anjing, yang selalu menyalak menjaga perempuan itu. Anjing itu tidak aku bunuh karena kasihan kepada perempuan itu, dan aku pun kembali kepada Rasulullah saw. lalu aku kabarkan bahwa tugas itu telah aku laksanakan, cuma tinggal seekor anjing kepunyaan seorang perempuan. Lalu Rasulullah menyuruh aku kembali ke tempat perempuan itu, lalu anjingnya aku bunuh juga. Setelah anjing perempuan itu aku bunuh, aku pun kembali kepada Rasulullah saw. Maka datanglah banyak orang kepada Nabi, lalu bertanya, 'Ya Rasulullah! Apakah lagi yang dihalalkan untuk kami, dari umat ini, kalau semuanya sudah habis?'" Mendengar pertanyaan itu Rasulullah saw. berdiam sejenak, kemudian turunlah ayat ini, "Mereka bertanya kepada engkau mana yang dihalalkan."

Dari segala yang didapat ini, baik dari ayat yang tengah kita tafsirkan, atau dari hadits-hadits tersebut tadi, nyatalah bahwa memelihara anjing adalah salah satu kebiasaan yang penting dari kehidupan orang di masa itu, yang digunakan untuk berburu. Tetapi satu masa Rasulullah memerintahkan untuk membunuhi sekalian anjing, terutama karena Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah yang ada anjing. Kemudian datanglah ayat yang kita tafsirkan ini, menyatakan hasil buruan yang digunggung anjing pemburu, boleh dimakan. Kemudian datanglah satu hadits yang dirawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad, yang diterimanya dari sahabat Jabir, "Berkata (Jabir), 'Rasululah saw. pernah memerintahkan kami membunuhi anjing, sehingga seorang perempuan datang dari desa membawa anjingnya, anjing itu pun kami bunuh juga. Kemudian Rasulullah telah melarang kami membunuhnya dan beliau bersabda, 'Kamu bunuh saja anjing hitam yang ada dua titik (di atas kedua matanya), sebab itu adalah Setan." (HR. Muslim dan Imam Ahmad). Dari keterangan hadits ini jelas sekali bahwa mulanya Nabi membunuh sekalian anjing, kemudian melarangnya, atau menyuruh menghentikan pembunuhan anjing, kecuali anjing hitam pekat yang ada tanda putih atau kuning, di atas matanya. Dan bertemu pula satu hadits yang dirawikan oleh Abu Dawud dan ad-Darimi daripada Abdullah bin Mughaffal, dari Nabi saw., "Berkata Rasulullah saw., 'Kalau bukanlah anjing itu satu di antara umat, sesungguhnya aku perintahkan membunuhnya semua. Maka bunuh sajalah anjing hitam pekat!" (HR. Abu Dawud dan ad-Darimi). Disini kita mendapat kesimpulan bahwa perintah membunuh atau memusnahkan anjing secara besar-besaran itu hanya sekali kejadian, yaitu setelah Jibril tidak mau masuk rumah beliau, karena di dalam rumah beliau ada anjing.

Pada ijtihad, penyusun tafsir ini, dan moga-moga ijtihad ini jangan salah, besar kemungkinan bahwa pada waktu itu penyakit anjing gila sedang menular. Kedatangan Jibril yang tidak mau masuk rumah yang ada anjing memberi kita isyarat bahwa beliau diberitahu dengan wahyu bahwa penyakit itu sedang menular. Itu sebabnya beliau suruh musnahkan anjing. Tetapi setelah bahaya itu tak ada lagi, beliau suruh hentikan pembunuhan anjing besar-besaran itu, hanya beliau suruh saja membunuh anjing hitam pekat yang bertanda putih atau kuning di atas matanya. Dan beliau katakan pula bahwa anjing adalah suatu umat Allah juga. Bahwasanya baik jenis binatang-binatang yang merangkak di atas bumi atau burung-burung yang terbang di udara, semuanya itu adalah umat-umat seperti kita juga, memang jelas diterangkan Allah dalam Al-Qur'an, surah al-An'aam ayat 38. Ini jelas lagi oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Umar, beliau itu berkata, "Rasulullah saw. telah memerintahkan membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk gembala kambing dan anjing untuk gembala yang lain." (HR. Bukhari dan Muslim). Kemudian datang pula hadits yang menjelaskan lagi, "Dan tidaklah ada dari ahli suatu rumah yang mengikat anjing, melainkan akan berkuranglah amalnya tiap hari satu qirath. Kecuali anjing buat berburu atau anjing buat menjaga kebun atau anjing buat gembala kambing." (HR. Tirmidzi dan an-Nasa'i).

Imamul Haramain mengeluarkan pendapat demikian, "Sejak itu tetaplah hukum syara' melarang membunuh sekalian anjing, sebab tidak ada mudharat, sampai pun kepada anjing yang hitam pekat pakai tanda putih di sebelah atas matanya itu." Dan secara zaman modern sekarang ini, kita mengemukakan pula pendapat (moga-moga pendapat itu benar) bahwa satu-satu waktu akan berjangkit lagi penyakit anjing gila yang berbahaya itu. Penyakit anjing gila memang sangat berbahaya, boleh disamakan dengan Setan. Mungkin di antara anjing-anjing yang banyak itu, anjing hitam yang bertanda putih itu sangat mudah dijangkiti penyakit anjing gila. Kalau keluar hasil penyelidikan ahli kesehatan dan permakluman pemerintah bahwa sedang berjangkit penyakit anjing gila, hendaklah kita patuhi petunjuk pemerintah. Kalau perlu dengan membunuh anjing yang kita pelihara sendiri. Berkata pula Ibnu Abdil Bar, "Di dalam segala hadits-hadits ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kita boleh memelihara anjing buat berburu dan buat menjaga ternak. Demikian juga buat menjaga kebun, untuk menambah penjagaan, dan makruh memelihara anjing untuk keperluan lain. Kecuali yang termasuk dalam arti berburu dan lain-lain yang disebutkan itu, ialah memelihara anjing untuk mengambil suatu manfaat dan menolak satu mudharat. Yaitu dengan jalan qiyas kepada yang ditentukan Nabi itu. Lebih jelas makruhnya lagi kalau tidak ada keperluannya. Sebab kalau ada orang memelihara anjing, takutlah orang akan masuk ke rumah itu, dan malaikat pun tidak mau masuk ke rumah yang ada anjing." Demikian keterangan dari Ibnu Abdil Bar. Al-Qasimi dalam tafsirnya mengatakan bahwa arti yang tersimpan di dalam hadits-hadits ini, yang berkenaan dengan ibadah, ialah karena kotor ludah anjing itu. Kalau dipelihara dalam rumah, maka tidaklah akan selalu terjaga jika ada bejana yang dijilatnya. Tentu saja kalau kebersihan bejana yang dijilat anjing itu dilengahkan, Allah akan mengurangi pahala amalan satu qirath tiap hari. Seorang ulama besar, Amr bin Ubaid pernah diajak bertukar pikiran oleh khalifah Abu Ja'far al-Manshur tentang hadits-hadits bahwa malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing ini, gerangan apa sebabnya. Ulama itu tidak dapat menjawab. Lalu al-Manshur menyatakan pendapatnya, "Barangkali karena anjing itu suka menyalak tetamu dan menimbulkan takut orang yang datang untuk meminta atau menanyakan sesuatu."

Dari segala keterangan ini jelaslah:

1. Memelihara anjing untuk keperluan berburu, menjaga kebun dan menjaga ternak dibolehkan. Malahan hasil perburuan yang dibawakan anjing pemburu boleh dimakan. Diterangkan oleh Al-Qur'an sendiri.

2. Membunuh anjing secara permusnahan hanya boleh kalau penyakit anjing gila sedang berjangkit.

3. Memusnahkan anjing-anjing dengan semena-mena, dilarang oleh Nabi. Sebab anjing itu sebangsa umat Allah juga. Lantaran itu memperburukan anjing jika masuk ke dalam kampung, kadang-kadang anjing kepunyaan orang lain, tidaklah sesuai dengan rasa agama yang mendalam.

4. Memelihara anjing untuk menjaga dan memelihara keamanan rumah dari bahaya maling, adalah boleh. Yaitu dengan meng-qiyas-kan kepada anjing-anjing yang dibolehkan Rasulullah saw. memeliharanya tadi.

5. Memelihara anjing karena kemewahan saja adalah makruh. Dan tidak sesuai dengan jiwa Islam memasang tanda "Awas Anjing" di muka rumah supaya orang jangan mendekat.

6. Anjing-anjing yang dididik dan diajar oleh polisi untuk pencari orang jahat adalah termasuk hal yang dibenarkan oleh agama.

Anjing itu diburu-buru, dikejar, dilempari dengan penuh benci, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang awam, bukanlah hal yang sesuai dengan ruh syari'at Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 606-609, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Beberapa ulama besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak hadits ahad, kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima hadits bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, 1 kali di antaranya dengan tanah. Karena dalam Al-Qur'an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digunggung anjing dengan mulutnya; halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa, dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan tanah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 328, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hati Mukmin sejati tidaklah akan tahan melihat orang-orang mengejar dan memukuli anjing, tidaklah orang menyalahkannya jika dia tidak suka memeliharanya. Namun mengejar, memukul, dan melempar dengan batu sebab anjing itu mendekat ke pekarangan rumahnya, tidaklah sesuai dengan ruh semangat agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 102, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

A.R. St. Mansur bercerita:

Beliau berkata kepadaku,

"Ahmad! Engkau telah aku ajar berfikir bebas, engkau telah ku ajar melepaskan taklid buta. Oleh sebab itu, ke mana pun engkau pergi, hendaklah engkau berani mempertahankan kebenaran. Kalau engkau pengecut mempertahankan kebenaran, akan aku suapkan najis ke dalam mulutmu!"

Ketika mereka dituduh kafir lantaran memfatwakan bahawa cepiau, seluar panjang dan dasi tidaklah menyerupai kafir, maka timbullah nekad mereka. Dalam sebentar waktu sahaja, dengan seluar panjang, dasi dan cepiau! Topi Panama! Bertahun-tahun lamanya Syeikh Abdullah Ahmad dan Syeikh Abdul Karim Amrullah memakai dasi dan seluar panjang, dengan di kepalanya memakai tarbus, bahkan kadang-kadang cepiau! Mahu apa? Siapa mahu menentang? Siapa mahu mengaji?

Syeikh Jambek luar biasa pula, beliau membeli sepeda motor, kemudian ditukarnya dengan kereta (mobil, -pen) dan dikendalikannya sendiri. Di bahunya tersandang bedil, untuk berburu. Mahu apa? Siapa mahu lawan? Siapa mahu debat?

(Buya HAMKA, Ayahku, 457-458, 155, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

AL-IMAM adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid'ah dan khurafat dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama. Itulah dia "Al-Imam". AYAHKU sebagai wakil di Danau (Maninjau) ditulis: "Haji Abdulkarim bin Tuanku Kisai." Rupanya sampai Tahun 1906 itu Tuanku Kisai itulah yang lebih popular sebagai hujung nama beliau. Kemudian setelah surat kabar "Al-Munir" terbit di Padang pada Tahun 1911 barulah lebih popular Abdulkarim Amrullah.

(Buya HAMKA, Ayahku, 144, 69, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

AL-MUNIR DAN K.H.A. DAHLAN (Pendiri Muhammadiyah)

(Belum sampai penyelidikan saya, apakah beliau membaca juga "Al-Imam").

Dan terang sekali bahawa terbitnya "Al-Munir" di Padang amat menggembirakan hati beliau. 

Kiai-kiai di Yogya kata K.H.R. Hajid tahu bahawa K.H.A. Dahlan menjadi pembaca setia "Al-Munir", surat kabar kaum Wahabi di Padang.

(Buya HAMKA, Ayahku, 159-160, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

Syair Arab,

Biarkan daku berkata, dan namailah saya apa pun yang kau suka namakan,

Saya adalah pemaaf dan pemurah.
Cuma satu yang saya tak sanggup menjualnya, yaitu kemerdekaan hati saya sendiri,
Cobalah katakan kepadaku, siapakah yang sudi menjual kemerdekaan hatinya?

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 285-286, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Mengharamkan sesuatu hendaklah dengan nash yang qath'i.

Kalau kita terima lagi peraturan haram dan halal dari yang lain, mulailah kita menjadi musyrik.

Dan orang-orang yang mengakui ulama yang lancang mengeluarkan fatwa memutuskan sesuatu adalah haram, adalah lancang pula untuk masuk Neraka.

Agama yang begitu lapang, janganlah dipersempit dengan lidah orang yang lancang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 440, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di mana-mana, kebenaran hendaklah ditegakkan; berdasarkan nash yang shahih, jelas, dan tidak dapat diartikan lain; Qath'i (kata putus, sehingga tidak dapat dibantah lagi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar).

MADZHAB SYAFI'I SEJATI

Madzhab saya Syafi'i. Saya belum pernah sejak menceburkan diri ke dalam perjuangan Islam mengatakan saya tidak bermadzhab. Periksalah segera buku yang saya karang,

"Madzhab Syafi'i sejati: yaitu hadits yang SHAHIH adalah madzhabku."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 219-220, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KLIK DISINI: TENTANG ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) SEJATI (JALAN YANG LURUS VS. JALAN YANG BERSIMPANG-SIUR)

Anjing itu diburu-buru, dikejar, dilempari dengan penuh benci, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang awam, bukanlah hal yang sesuai dengan ruh Syari'at Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 609, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dari Abu Hurairah r.a. berkata dia, berkata Rasulullah saw., "Tatkala Allah menciptakan seluruh makhluk ini, Dia telah menuliskan di dalam sebuah kitab yang ada di sisi-Nya di atas Arsy, 'Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemurkaan-Ku'." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Jarir r.a. berkata dia, Rasulullah saw. bersabda, 'Tidaklah Allah akan memberikan rahmat kepada barangsiapa yang tidak memberi rahmat kepada sesama manusia'." (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).

Menurut riwayat Bukhari dan Muslim juga dari Abu Hurairah, suatu waktu Rasulullah saw. duduk dalam majelisnya lalu datang cucunya Hasan bin Ali. Kemudian, beliau memangku cucunya itu dan beliau menciumnya dengan penuh kasih mesra. Dalam majelis itu, ada seorang bernama al-Aqra' bin Habis. Melihat Rasulullah mencium cucunya itu, berkatalah al-Aqra', 'Aku mempunyai 10 orang anak, tidak seorang pun yang pernah aku cium.' Beliau memandang wajah al-Aqra' dengan tenang lalu berkata,

"Barangsiapa yang tidak menyayangi niscaya dia pun tidak akan disayangi." (HR. Bukhari dan Muslim).

Bahkan kepada binatang pun kita disuruh sayang.

"Pernah seorang Nabi digigit semut. Lalu Nabi itu menyuruh membakar sarang semut tersebut, sehingga habis terbakar. Lalu, datanglah wahyu dari Allah kepada Nabi itu, 'Sesungguhnya seketika kamu membakar sarang semut itu, engkau telah membakar suatu umat yang sedang bertasbih memuja Allah'." (HR. Bukhari dan Muslim).

Rasa inilah yang harus tertanam di dalam hati seorang Mukmin. Lantaran itu, hati Mukmin sejati tidaklah akan tahan melihat orang-orang mengejar dan memukuli anjing, tidaklah orang menyalahkannya jika dia tidak suka memeliharanya. Namun mengejar, memukul, dan melempar dengan batu sebab anjing itu mendekat ke pekarangan rumahnya, tidaklah sesuai dengan ruh semangat agama.

Perasaan rahmat yang dilimpahkan Allah ini yang tampak terbentang pada seluruh alam raga, sampai pada pertumbuhan rumput, penyebaran benih, penghidupan manusia, dan segala binatang melata, hendaklah dijadikan pupuk untuk menyuburkan iman kita sehingga rasa benci hilang dari dalam hati. Rasa benci itu hanya mempersempit hati sendiri.

Dengan pupuk rahmat itu, kita akan selalu melihat cahaya terang rahmat di sekeliling kita, bahkan ketika kita ditimpa bala bencana, kita belum merasakan rahmat itu. Oleh karena itu, kita diperintahkan bersabar menahan penderitaan. Apabila kita sabar, nanti akan kita pahami bahwa percobaan itu adalah rahmat.

Perasaan inilah yang menanamkan rasa malu tersipu-sipu seorang hamba kepada Tuhannya, sebagaimana cerita Nabi Ayyub. Ketika istrinya bertanya kepada beliau, setelah beliau ditimpa malapetaka, mengapa tidak dimohonkannya kepada Allah agar dia segera dilepaskan dari bencana yang menimpanya itu. Nabi Ayyub menjawab, bahwa beliau malu tergesa-gesa memohonkan apa-apa kepada Allah sebab selama ini hanya rahmat saja yang dilimpahkan dari Allah. Mengapa dia akan mengeluh karena cobaan yang hanya sedikit jika dibandingkan dengan rahmat yang banyak.

Dengan berpikir demikian, terasa bahwa apa pun yang kita kerjakan dalam hidup ini, belumlah sepadan dengan rahmat Allah yang kita terima. Inilah contoh yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ayyub a.s.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 101-103, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERBINCANGAN ULAMA TENTANG MAKANAN

Sebagian besar ulama, dipelopori oleh sahabat Nabi, Ibnu Abbas dan ulama Mujtahid yang besar, Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa yang terang-terangan haram dimakan hanyalah yang 4 itu saja, "Bangkai, daging babi, darah yang mengalir, dan binatang yang disembelih buat menghormati yang selain Allah (misalnya berhala)." Mereka pertahankan pendirian sebab diadakan ayat ini Nabi saw. disuruh Tuhan menjelaskan, "Katakanlah olehmu, apa yang diwahyukan kepadaku apa yang diharamkan atas si pemakan yang akan memakannya." Kemudian, beliau jelaskan hanya yang 4 itulah yang diharamkan. Dan tidak ada lagi perintah yang lain.

Dapat dipahami dari ayat ini bahwa yang selain dari yang 4 itu, apa saja macam makanan atau ternak atau binatang buas tidak ada yang haram sebab tidak ada wahyu yang diturunkan Allah untuk mengharamkannya. Abd bin Humaid, Abu Dawud, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, al-Hakim (dishahihkannya), dan Ibnu Mardawaihi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata,

"Orang-orang jahiliyyah itu memakan makanan macam-macam dan meninggalkan makanan macam-macam pula karena merasa keberatan. Kemudian, diutus Allah-lah nabi-Nya dan diturunkan-Nya kitab-Nya, dan dihalalkan-Nya yang halal dan diharamkan-Nya yang haram. Maka, apa yang telah Dia halalkan, halal-lah dia, dan apa yang telah Dia haramkan, tetaplah haram. Dan mana yang Dia diamkan, itu adalah dimaafkan. Kemudian, beliau baca ayat, "Katakanlah, tidak aku perdapat: dan seterusnya", itu.

Menurut riwayat lain dari Abdurrazzaq dan Abd bin Humaid bahwa dia (Ibnu Abbas) pernah membaca ayat ini. Setelah selesai membacanya beliau berkata,

"Selain dari ini, semuanya halal!"

Menurut riwayat Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, dan Abusy-Syaikh dari Amr bin Dinar ini berkata,

"Aku katakan kepada Jabir bin Zaid, ada orang mendakwakan bahwasanya Rasulullah saw. melarang memakan daging keledai peliharaan (keledai jinak) pada zaman peperangan Khaibar. Kemudian, Jabir bin Zaid menjawab, "Memang pernah al-Hakam bin Amer al-Ghifari menyatakan di Bashrah kepada kami bahwa Nabi kita memang pernah mengatakan demikian. Namun, yang demikian itu tidak diterima oleh Al-Bahr Ibnu Abbas."

Lalu beliau baca ayat ini.

Setengah dari gelar Ibnu Abbas ialah Bahrul Ulum yang berarti lautan ilmu.

Adapun orang-orang yang menganut pendapat ini, yang membatasi bahwa yang jelas haramnya dengan wahyu hanya yang 4 itu saja, memandang bahwa kalau ada hadits-hadits Rasulullah melarang makanan yang lain maka sekalian larangan Nabi itu tidaklah membawa pada hukum haram. Hanyalah semata-mata makruh. Oleh Sebab itu, asy-Sya'bi berpendapat halal memakan daging gajah, beralasan pada ayat ini juga.

Mereka pun berpegang pula pada suatu hadits yang dirawikan oleh al-Bazzar dan al-Hakim dari sahabat Abu Darda, Rasulullah saw. bersabda,

"Mana yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya maka halal-lah dia. Dan mana yang Dia haramkan maka haram pulalah dia. Dan mana yang Dia diamkan saja daripadanya maka itu dimaafkan. Sebab itu, terimalah daripada Allah mana yang Dia maafkan. Karena sesungguhnya Allah tidaklah akan melupakan sesuatu." (HR  al-Bazzar dari Abu Darda).

Golongan yang kedua, sepakat dengan golongan yang pertama tentang haramnya yang 4 macam itu. Karena sesuatu yang telah ada nashnya yang qath'i, yang tegas dan tepat dalam Al-Qur'an tidak usah diperbincangkan lagi.

Akan tetapi, ada lagi beberapa hadits Rasulullah saw. mengharamkan atau melarang yang lain-lain, sebagai telah kita sebutkan di atas tadi.

Golongan kedua ini setelah menilai hadits-hadits yang menentukan makanan yang dilarang itu, berpendapat bahwa selain dari yang 4 diharamkan Al-Qur'an ada lagi yang diharamkan Rasulullah saw. dengan sabdanya.

Yang tegas ialah burung-burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram dan binatang-binatang yang mempunyai saing atau taring untuk menggusi. Artinya, burung-burung buas dan binatang-binatang buas. Termasuk di situ anjing karena anjing memang memakan daging, artinya buas. Dan juga kucing sebab dia bertaring.

Bagaimana dengan pendapat dari "Lautan Ilmu" (Ibnu Abbas) yang menolak keterangan Jabir bin Zaid yang membawakan riwayat bahwa Nabi saw. pernah dengan jelas mengharamkan daging keledai jinak. Ibnu Abbas menolak keterangan itu dengan membaca ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Penolakan Ibnu Abbas ini tidak semua orang menerimanya.

Tersebut pada riwayat, sikap Imam Bukhari membantahnya. Katanya,

"Meskipun 'Lautan Ilmu' menolak keterangan Rasulullah dalam mengharamkan daging keledai jinak itu, daging keledai jinak tetap haram, walaupun 'Lautan Ilmu' tidak mau menerima."

Sebab riwayat hadits itu jelas dan sah dari Nabi saw.

Lalu, Bukhari berkata pula,

"Berpegang dengan perkataan seorang sahabat Nabi, padahal bertentangan dengan perkataan Nabi adalah satu pilihan yang salah dan jauh dari keinsafan."

Asy-Syaukani menulis dalam Nailul Authar,

"Mengambil dalil dengan ayat ini, barulah sempurna pada sesuatu yang tidak ada nash (dari Nabi) dalam mengharamkannya. Nash yang jelas atas mengharamkan mesti didahulukan daripada menghalalkan yang umum dan atas qiyas."

Apatah lagi Ibnu Umar pun pernah rujuk (kembali) dari hanya berpegang dengan umum ayat ini. Dirawikan oleh Said bin Manshur dan Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Numailah al-Fazzari, berkata dia, Dirawikan Said bin Manshur Imam Ahmad, dan Abu Dawud dari Numailah al-Fazzari. Dia berkata,

"Aku berada di sisi Ibnu Umar ketika orang bertanya kepada beliau tentang hukum memakan binatang gunja (landak). Lalu, beliau jawab dengan membaca ayat ini, 'Katakanlah, tidak ada aku perdapat dan seterusnya.' Maka, menyelalah seorang orang tua yang ikut serta duduk dalam majelis itu, "Aku mendengar Abu Hurairah berkata, 'Diperkatakan orang tentang landak itu di hadapan Nabi.' Lalu Nabi saw. berkata, 'Sesuatu yang keji di antara berbagai yang keji.' Mendengar itu berkatalah Ibnu Umar, 'Kalau Nabi sudah berkata demikian maka hukumnya ialah sebagaimana yang beliau katakan itu.'" (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Said bin Manshur).

Artinya bahwa di dalam Al-Qur'an sudah jelas bahwa Allah mengharamkan segala yang keji-keji (khabaits). (6)

Terang, di situ bahwa Rasulullah saw. diutus Allah selain dari menghalalkan yang thayyibah dan mengharamkan yang khabaits, yang keji-keji.

Dengan riwayat yang dibawakan Abu Hurairah ini, tunduklah Abdullah bin Umar dan tidaklah beliau berani memegang saja akan umum ayat ini, setelah mendengar bahwa landak atau gunja dipandang keji oleh Nabi. Sebab, beliau lebih tahu tentang mana yang keji itu.

Sikap Ibnu Umar ini memperkuat pendirian lagi bagi golongan kedua bahwa segala yang dilarang oleh Rasulullah saw. memakannya dengan hadits, samalah derajatnya dengan 4 yang dilarang dalam ayat-ayat ini.

Pendirian ini dikuatkan lagi dengan sebuah hadits, Dari al-Miqdam bin Ma'adikariba dia berkata, Berkata Rasulullah saw.,

"'Ketahuilah, adakah agaknya seorang yang sampai kepadanya suatu hadits daripadaku?' (Ketika itu beliau sedang tidur-tiduran di atas hamparannya). Lalu beliau bersabda selanjutnya, 'Di antara kami dan di antara kamu adalah kitab Allah. Apa yang kami dapati halal di dalam kitab itu niscaya kami halalkan dan mana yang kami dapati haram, niscaya kami haramkan. Dan, barang yang diharamkan oleh Rasulullah adalah serupa dengan apa yang diharamkan oleh Allah Ta'aala.'" (HR. at-Tirmidzi. Beliau berkata, "Hadits ini hasan dan gharib.").

Oleh sebab itu, golongan ini tidaklah membagi. Yaitu, mana yang diharamkan dalam Al-Qur'an menjadi haram dan mana yang dilarang oleh Rasul saw. menjadi makruh.

Menurut pendirian kedua ini segala binatang bersaing atau bertaring, seumpama singa, harimau, beruang, kucing, serigala, anjing, tupai adalah haram.

Landak (gunja) haram karena keji.

Elang, rajawali sikok, dan segala burung yang mencengkeram dengan kuku adalah haram pula.

Mereka berpendapat bahwa nilai isi hadits dalam perkara ini tidaklah kurang daripada nilai wahyu. Sebab Nabi saw. mengharamkan sesuatu bukanlah atas mau dan hawa nafsunya sendiri. Apatah sudah terkenal bahwa sunnah Rasul adalah tafsir yang utama daripada Al-Qur'an.

Menulis al-Qasirni di dalam tafsirnya,

"Meskipun ayat ini umum jika dibandingkan dengan tiap-tiap yang diharamkan Allah daripada binatang, dia pun dengan sendirinya meliputi juga segala yang diharamkan sesudah itu. Memang ada riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah dan ada juga riwayat seperti itu dari Imam Malik. Tetapi, pendirian ini gugur dengan sendirinya dan madzhab ini sangat lemah (dhaif) karena dia memandang enteng yang lain, yang turun sesudah itu dalam Al-Qur'an dan memandang tidak berharga hadits-hadits yang shahih daripada Rasulullah saw. sesudah ayat ini turun, dengan tidak ada alasan yang dapat dipegang dan tidak ada sesuatu pendirian yang mewajibkannya."

Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir ketika menafsirkan ayat ini,

"Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi saw. memberi kabar kepada kaum musyrikin bahwa Nabi tidak mendapati suatu wahyu pun yang mengharamkan sesuatu yang mereka katakan haram itu, selain dari 4 perkara yang tersebut itu. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa makanan yang diharamkan hanya terbatas pada yang 4 ini saja. Tetapi, harus diingat bahwa ayat ini diturunkan di Mekah. Dan, sesudah itu telah turun pula di Madinah surah al-Maa'idah. (Lihat surah al-Maa'idah ayat 3). Dalam ayat itu jelas ditambah lagi makanan yang diharamkan. yaitu al-munkhaniqatu, al-mauqudzatu, al-mutaraddiyatu, dan an-nathihatu."

Menulis pula Ibnu Katsir di dalam tafsirnya Ruhul Bayan,

"Yang ditangkap dari maksud yang dikandung di dalam ayat ini ialah menolak kaum musyrikin yang membuat-buat (bid'ah) mengharamkan Bahirah, Saaibah, Wasilah, dan Haam itu, dan seumpamanya. Kemudian, Allah menyuruhkan Rasul-Nya mengharamkan demikian itu. Yang diharamkan dengan wahyu hanyalah bangkai dan lain-lain yang tersebut seratanya itu. Lain dari itu, tidak ada yang haram. Melainkan dimaafkan dan didiamkan. Mengapa kamu katakan semuanya itu haram? Dari mana kamu dapat alasan mengharamkannya, padahal Allah tidak mengharamkan?"

Berkata Ibnu Katsir selanjutnya,

"Atas dasar ini bukanlah berarti bahwa ada pula selain yang 4 ini tidak diharamkan sesudah itu. Sebagaimana telah datang larangan memakan daging keledai jinak dan daging binatang buas dan sekalian burung yang mencengkeram dengan kuku."

Demikian Ibnu Katsir.

Dan, segala keterangan penafsiran-penafsiran yang kita kumpulkan ini dapatlah ditarik pengertian bahwasanya ayat yang tengah kita tafsirkan ini tidaklah seyogianya kita jadikan dasar buat bertengkar tentang yang haram dan yang makruh.

Atau tentang hadits-hadits Rasulullah yang melarang memakan makanan yang tertentu itu dipandang tidak seberat yang 4 yang ditegaskan ayat ini atau tegasnya dipandang enteng.

Sebab, sunnah adalah penafsiran dari Al-Qur'an, sebagaimana yang sudah sepatutnya dimaklumi orang yang memahami agama.

Dan, maksud utama dari ayat yang tengah kita tafsirkan ini ialah menolak dan membantah kaum musyrikin yang membuat-buat hukum sendiri, mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah. Membuat suatu hukum yang tidak ada sumbernya kecuali khayalan belaka. Dan, ayat ini turun di Mekah.

Kemudian setelah Hijrah ke Madinah, barulah Al-Qur'an sendiri menambah beberapa yang diharamkan. Ditambah lagi oleh keterangan-keterangan Rasulullah saw.

Ayat yang berikutnya (ayat 146) menerangkan lagi makanan-makanan yang diharamkan Allah kepada orang Yahudi.

(6) Lihatlah surah al-A'raaf ayat 157.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 307-311, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANJI AHLI-AHLI PENGETAHUAN

"Alangkah jahat tukaran yang mereka terima itu." (ujung ayat 187).

Teringatlah kita bila merenungkan ujung ayat ini kepada perkataan Tabi'in yang besar, yaitu Qatadah. Beliau berkata, "Inilah perjanjian yang telah diambil Allah dengan ahli-ahli ilmu. Maka, barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, hendaklah diajarkannya kepada manusia. Sekali-kali jangan disembunyikannya ilmu itu, karena menyembunyikan ilmu adalah suatu kebinasaan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 144, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Memang beratlah menjadi ulama dan menjadi sarjana, sebab mereka itu dengan ilmunya telah mengikat janji dengan Allah.

Maka datanglah sambungan ayat demikian bunyinya:

"Sekali-sekali janganlah engkau sangka bahwa mereka akan terlepas dari adzab. Bahkan untuk mereka adzab yang pedih." (ujung ayat 188).

Adzab atau siksaan yang diancamkan oleh Allah itu niscaya melalui dua masa.

Pertama, ialah adzab selama hidup di dunia, karena hilangnya kepercayaan orang atas diri mereka, karena martabat jiwa mereka yang telah jatuh, hilang wibawa dan turun gengsi.

Adzab yang kedua, ialah adzab akhirat yang amat hina.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 148-149, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tafsir Al-Azhar Buya HAMKA Tidak Pakai Metode Hermeneutika

Peneliti INSISTS ini menggolongkan Tafsir Al-Azhar ke dalam tafsir modern.

Sebab tafsir ini menekankan fungsi al-Qur'an sebagai hidayah, meluruskan tuduhan-tuduhan miring yang dilontarkan oleh orientalis, dan menjadi barometer untuk menyeleksi pemikiran-pemikiran Barat.

"Jadi salah, kalau sekarang kelompok JIL mengatakan bahwa tafsir modern itu kita harus beradaptasi dengan konsep-konsep dari Barat," pungkasnya.

hidayatullah.com/berita/nasional/read/2017/06/12/118470/fahmi-salim-tafsir-al-azhar-buya-hamka-tidak-pakai-metode-hermeneutika.html

MUKADIMAH

Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf, yaitu Madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau serta ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau.

Dalam hal aqidah dan ibadah, semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Namun, tidaklah semata-mata taklid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat pada kebenaran untuk diikuti, dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang.

Meskipun penyimpangan yang jauh itu bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mengeluarkan pendapat itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan Madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya Madzhab Salaf adalah haq." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149).

MADZHAB FIQIH

Saya adalah bermadzhab; Madzhab saya Syafi'i. Saya belum pernah sejak menceburkan diri ke dalam perjuangan Islam mengatakan saya tidak bermadzhab. Periksalah segera buku yang saya karang Madzhab Syafi'i sejati: yaitu hadits yang shahih adalah madzhabku.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 219-220, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Orang yang tidak mengetahui hakikat sumber hukum dalam Islam dapat menyangka bahwa fiqih adalah sumber hukum.

Padahal, fiqih bukanlah sumber hukum dalam Islam, melainkan hasil analisis hukum dari fuqaha (ahli fiqih).

Fiqih artinya 'paham' atau lebih tegas lagi "hasil pemikiran". Hasil pemikiran itu ijtihad namanya, yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Adapun sumber yang diakui oleh sekalian madzhab dalam Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits).

Dimasukkan juga oleh sebagian madzhab, yaitu ijma' dan qiyas.

Ahli-ahli Fiqih sendiri selalu mengatakan bahwa ijtihad itu tidaklah yakin kebenarannya, melainkan zhan, artinya boleh ditinjau kembali, "kalau sesuai dengan sumber aslinya (Al-Qur'an dan hadits) boleh diakui terus, dan kalau tidak haruslah segera ditinggalkan dan dibuang."

Demikian pesanan dari pelopor-pelopor mujtahid yang terdahulu seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali.

Kita sebagai orang Islam mengetahui bahwa kitab fiqih itu terlalu amat banyak, beratus-ratus, sebagaimana hasil pendapat para ulama Fiqih, baik yang telah mencapai derajat mujtahid atau yang masih muqallid; baik ulama tabi'in, atau tabi' tabi'in, atau ulama mutaqaddimin, atau ulama mutaakhkhirin.

Oleh karena itu, kalau orang ingin berlaku jujur dan benar-benar menghendaki pengupasan ilmiah, ia harus mengetahui atau mengemukakan bahwa dalam sumber hukum Islam yang benar-benar resmi (Al-Qur'an dan Hadits, ijma', dan qiyas).

PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Sumber hukum Islam resmi ketiga, menurut sebagian besar ahli fiqih adalah ijma'. Arti yang populer adalah persamaan pendapat ulama dalam satu masalah, di dalam satu zaman. Ini pun boleh dijadikan sumber hukum resmi.

Dalam peraturan ijma' itu pun dikatakan, meskipun hanya satu orang yang membantah, dengan sendirinya ijma' itu gugur, dan tidak boleh lagi dijadikan hujjah atau hukum resmi!

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 222-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KISAH PERJUANGAN FATWA YANG TERPACUL DARI IJMA ULAMA

MENGADU KE MEKAH

Pihak yang tua-tua rupanya tidak merasa puas melihat perkembangan fahaman yang muda-muda ini.

Diajak berdebat tidak bisa, dan pengaruhnya kepada rakyat bertambah lama bertambah kukuh.

Mereka berani menentang ulama-ulama yang mana sahaja, asal dengan alasan yang cukup, hujah dengan hujah, usul dengan usul dan mantik dengan mantik.

Akhirnya dapatlah jalan lain.

Iaitu mengirim surat kepada ulama-ulama Mekah, ulama yang pada hakikatnya lebih jumud, lebih beku daripada ulama yang mengadu sendiri.

Bagaimana mereka akan dapat mengukur masyarakat di Indonesia dengan di Mekah?

Ketika itu, pahlawan ulama Indonesia yang tidak mahu dibungkus-bungkuskan sahaja, iaitu Syeikh Ahmad Khatib telah wafat.

Maka berleluasalah melepaskan torpedo celaan.

Disusun pertanyaan yang isinya belum membuka duduk masalah, hanya mencaci maki 4 orang "biang keladi" dalam perkara ini, iaitu Abdullah Munir, Haji Rasul, Haji Jambek dan Lebai Zainuddin, yang menerbitkan majalah "Al-Munir" yang berisi fatwa yang terpacul dari ijma ulama.

Maka datanglah Fatwa Mekah, yang terkenal dengan nama "17 Masalah".

Di sana dihukumkanlah keempat-empat orang itu keluar daripada jalan Ahli Sunnah wal Jama'ah.

Sehingga kalau sekiranya mereka naik haji ke Mekah pada masa itu, tentu akan terus masuk penjara!

Lucu juga nama Abdullah Ahmad diganti dengan Abdullah Munir, jadi Abdullah yang bercahaya.

Gelaran ejekan itu menjadi kemasyhuran pula bagi beliau.

Fatwa dari Mekah mereka sambut dengan senyuman sahaja.

Pada suatu hari tiba-tiba datanglah ke Padang seorang ulama yang telah bertahun-tahun mengajar di Mekah, iaitu Syeikh Abdulkadir Mandahiling (Al-Mandili, cara Mekahnya). Sengaja beliau datang ke Padang untuk menghadiri pertemuan yang diadakan untuk menghormati beliau. Baru sama-sama mengaji, rupanya Syeikh itu tidak biasa berpidato: Kalah semangat.

Lalu mengaku sahaja:

"Innama ana muqallid. Saya cuma taklid kepada Ulama-ulama sahaja."

(Buya HAMKA, Ayahku, 156-157, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Pada akhir Abad ke-18, banyak pelajar Minang yang merantau ke Mekkah untuk mendalami agama Islam, diantaranya Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Setibanya di tanah air, mereka menyebarluaskan pemikiran Islam yang murni, dan menjadi penyokong kuat gerakan Paderi di Minangkabau. Gelombang kedua perantauan ke Timur Tengah terjadi pada awal Abad ke-20, yang dimotori oleh Abdul Karim Amrullah, Tahir Jalaluddin, dan Muhammad Jamil Jambek. Banyak perantau Minang yang menetap dan sukses di Mekkah, diantara mereka ialah Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang menjadi imam Mesjid Al-Haram.

Perantauan Intelektual

indonesia.go.id/?p=8881

AYAHKU

Semasa belajar sudah banyak teman-temannya yang lain benci kepadanya. Beliau tidak suka hanya menekur-nekur sahaja. Beliau suka bertanya kepada guru dan kalau perlu beliau suka membantah. Pada waktu itu hal yang demikian sangatlah dipantangkan. Terasa atau tidak terasa kaji haruslah ditelan sahaja. Kalau menanya guru, dicap derhaka.

Syeikh Ahmad Khathib amat sayang kepadanya kerana terang otaknya. Tetapi kadang-kadang tersinggung juga perasaannya ditanya-tanya begitu. Maka setelah beliau pulang ke tanah air dan mengeluarkan fatwa yang berbeza dengan fatwa kawan-kawan yang lain, kerap kali terdengar:

"Haji Rasul telah kena keparat guru! Dia selalu membantah kepada Syeikh Ahmad Khathib!"

Beliau bercerita:

"Pernah ayah belajar dengan seorang guru. Rupanya ada keterangan guru itu bersalahan dari maksudnya, kerana kaji itu tidak ditelaahnya dahulu di rumah sebelum mengajar. Murid yang lain hanya menekur sahaja, dan ada yang mengantuk. Tiba-tiba keterangan itu ayah bantah. Mata kawan-kawan berapi-api melihat ayah dan guru pun marah. Tetapi ayah tidak takut. Ayah persilahkan guru itu memeriksa kembali. Meskipun agak malu, guru itu akhirnya membenarkan juga pendapatku."

"Engkau murid siapa? Engkau baru sahaja kulihat dalam halakahku", kata guru itu.

"Saya murid Syeikh Ahmad Khathib!", jawab ayah.

"Patut! Patut!", jawab guru itu.

Petangnya guru itu kebetulan tawaf bersama-sama dengan Syeikh Ahmad Khathib, rupanya beliau berdua bersahabat karib.

Terlihat oleh mereka muka ayah. Guru itu menunjuk kepada ayah dan Syeikh Ahmad melihat kejurusan telunjuk guru itu dengan senyum bangga.

Ayah pun terus mengundurkan diri ke dalam orang banyak, dalam perasaan campuran di antara girang, takut dan malu.

Kiriman ayahnya hanya datang sekali setahun, di kala orang naik haji. Tepatan kiriman ialah Syeikh Ahmad Khathib sendiri. Meskipun dalam majlis pernah beliau bertanya kepada gurunya dan beliau berani mempertahankan pendiriannya, namun datang meminta belanja, beliau takut juga. Tetapi gurunya sangat arif, sehingga walaupun belanja tak mencukupi dan habis sebelum waktunya, kalau beliau datang, gurunya itu tahu betul.

"Rasul! Engkau datang meminta belanja, wangmu telah habis. Tapi biar saya pinjamkan."

Demikianlah 7 Tahun lamanya beliau belajar daripada orang besar yang terkenal itu.

Beliau sangat cinta kepada gurunya dan selalu menjadi buah mulutnya.

Jarang ada satu hari yang terlepas, beliau menyebut nama gurunya itu sampai tuanya:

"Tuan Ahmad itu gagah perkasa, mukanya jernih, di keningnya terdapat kesan bekas sujud, janggutnya lancip, beliau didengki oleh ulama-ulama Arab kerana lidahnya lebih fasih dan karangannya lebih balagah dari karangan mereka. Beliau menantu orang kaya dan berkenalan dengan Syarif. Tetapi sungguhpun didengki, beliau terpaksa disegani. Beliau lebih arif dalam segala hal. Meskipun beliau telah hidup cara bangsawan Arab, namun cintanya akan tanah Minangkabau tidak pernah putus. Beliau suka sekali jika dikirim Rendang, dan lebih suka kalau dikirim Belut kering. Tetapi kalau diajak pulang ke Minang, beliau menggelengkan kepala, nampak mukanya muram! Beliau cinta ke Minangkabau, tetapi beliau tidak suka akan adatnya yang berpusaka kepada kemenakan. "Biarlah saya meninggal di tanah suci ini", kata beliau! Tulisan beliau sangat bagus, dan beliau tahu ilmu Al-Jabar dan Al-Falak."

Begitulah ayahku menceritakan tentang gurunya.

Kalau sedang bercerita tentang gurunya itu "Tuan Ahmad" matanya kelihatan gembira.

"Tidak ada ulama Mekah itu yang sanggup menandingi beliau", kata ayahku memuji gurunya.

Pada Tahun 1319 H (1901 M) persis 100 Tahun sesudah Haji Miskin pulang dari Mekah akan mengembangkan fahaman Paderi, beliau pun turunlah ke tanah air bersama beberapa temannya ulama yang lain. Iaitu setelah mendapat ijazah dari gurunya kerana mengajar beberapa ilmu.

(Buya HAMKA, Ayahku, 88-90, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

THAGUT

Ulul-albaab, tidaklah takut, tidaklah cemas mendengarkan pendapat orang yang berbeda dengan pendapatnya dan mendengar pengajian yang berlainan dengan pengajiannya.

"Orang yang merdeka tidaklah gentar menghadapi kemerdekaan orang lain."

Kebenaran itu bisa dijemur di cahaya Matahari, dia tidak akan lekang. Biar ditinggalkan kena hujan lebat, dia tidak akan busuk.

Menurut keyakinannya kebenaran yang paling baik, yang baik sekali ialah firman Allah dan Rasul.

Dia adalah kebenaran mutlak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 24, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hanyalah orang-orang muqallidin yang benci dan yang berbeda dari pendapat ijtihadiyah guru yang diikutinya.

Inilah pangkal bencana umat Islam.

Yaitu setelah umat dihukum oleh orang-orang muqallidin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 410, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Orang yang berkeras mempertahankan suatu masalah ijtihadiyah, biasanya bukanlah orang yang luas pengetahuan, melainkan orang-orang yang diikat oleh taqlid kepada suatu paham, atau berkeras mempertahankan pendirian yang sudah diputuskan oleh segolongan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 36-37, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Orang-orang yang diikut, sebab mereka adalah manusia, kerapkali dipengaruhi oleh hawa nafsu, berkeras mempertahankan pendapat sendiri walaupun salah dan tidak mau meninjau lagi.

Sehingga masalah-masalah ijtihadiyah menjadi pendirian yang tidak berubah-ubah lagi.

Bukan sebagaimana Imam Syafi'i yang berani mengubah pendapat sehingga ada pendapatnya yang qadim (lama) dan ada yang jadid (baru).

Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dalam fi ihdaqaulaihi (pada salah satu di antara dua katanya).

Dalam hal orang yang diikut itu berkeras pada suatu pendapat, si pengikut pun berkeras pula dalam taklid.

Ini karena dengan sadar atau tidak mereka telah menjadikan guru ikutan menjadi tandingan-tandingan Allah atau andadan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau ada orang membuat propaganda (kampanye), barangsiapa berani menyatakan paham yang baru tentang khilafiyah bahwa orang itu telah keluar dari Islam,

Ketahuilah, itu propaganda (kampanye) murahan yang hanya laku untuk golongan jahil yang terbatas.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 72, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MALU MENCABUT FATWA

Ath-Thabarani mengeluarkan riwayat dari Ibnu Mas'ud, bahwa beliau berkata,

Mungkin ada seseorang berkata:

Allah memerintahkan begitu, Allah melarang begini.

Lalu Allah berfirman, "Engkau pendusta."

Kemudian setelah nyata terlanjur,

Malu pula akan surut ke dalam kebenaran,

Malu mencabut fatwa.

Inilah yang disebut:

"Yang seberani-berani kamu berfatwa, ialah yang seberani-berani kamu masuk Neraka."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 228-229, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BILA BUYA BERFATWA (SEBUAH TELADAN)

"Saya bersedia rujuk kembali (mencabut kembali) fatwa saya ini kalau ada keterangan yang lebih benar ..."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 210, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

AYAHKU

A.R. St. Mansur bercerita:

Pada suatu hari ketika saya mengiringi beliau dalam perjalanan dari Muara Pauh ke Kubu, sesampai di Batang Renggas, di bawah lindungan batang kapas bongkok di tepi jalan, beliau berkata kepadaku:

"Ahmad! Engkau telah aku ajar berfikir bebas, engkau telah ku ajar melepaskan taklid buta. Oleh sebab itu, ke mana pun engkau pergi, hendaklah engkau berani mempertahankan kebenaran. Kalau engkau pengecut mempertahankan kebenaran, akan aku suapkan najis ke dalam mulutmu!"

Maka suasana kebebasan fikiran yang diajarkannya itulah yang menimbulkan semangat baru dalam lingkungan yang menimbulkan semangat baru dalam lingkungan surau tempatnya mengajar.

Apatah lagi setelah beliau melawat pula ke tanah Jawa pada Tahun 1912, berjumpa dengan HOS Cokroaminato dan K.H. Ahmad Dahlan, semuanya menambahkan besar jiwanya dan kepercayaannya bahawa di Jawa pun ada teman-temannya.

(Buya HAMKA, Ayahku, 457-458, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

MURUAH (HARGA DIRI)

Luqman berkata, "Anakku, carilah seribu sahabat, karena seribu sahabat belumlah banyak. Jauhilah seorang musuh, karena musuh seorang sudah terlalu banyak".

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 299, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan


AL-MUNIR DAN K.H.A. DAHLAN (Pendiri Muhammadiyah)

Kiai-kiai di Yogya kata K.H.R. Hajid tahu bahawa K.H.A. Dahlan menjadi pembaca setia "Al-Munir", surat kabar kaum Wahabi di Padang.

Setelah saya mendengar riwayat hubungan rohani K.H.A. Dahlan dengan Al-Munir, yang terbit pada Tahun 1911 itu dan dengan rasmi Muhammadiyah berdiri pada Tahun 1912, dapatlah saya memahami cerita Ayahku kepadaku yang kerap kali diulang-ulangnya, bahawa ketika beliau di tanah Jawa pada Tahun 1917, dia singgah di Yogya dalam perjalanannya kembali ke Jakarta dari Surabaya.

Beliau bercerita bahawa di dadanya ditempelkan huruf-huruf Arab H.A.K.A. (Haa, Ain, Kaaf, Hamzah), sehingga seketika K.H.A. Dahlan datang ke stesen Tugu menjemputnya, segera beliau dapat mengenal Ayahku, sebagai wakil Al-Munir.

Beliau di Yogya 3 hari menjadi tamu K.H.A. Dahlan.

Kata Ayahku:

"Dengan tawaduknya K.H.A. Dahlan meminta izin hendak menyalin karangan-karangan beliau ke dalam bahasa Jawa, untuk diajarkan kepada murid-muridnya."

Dan dengan segala rendah hati pula beliau membenarkannya dan menyuruh tambah mana yang kurang.

(Buya HAMKA, Ayahku, 159-161, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Kalau telah banyak yang hanya pandai membaca, tetapi sedikit yang pandai memahamkan (fuqahaukum),

Banyak yang memegang kuasa, tetapi sedikit yang dapat dipercaya,

Dan orang mencari keuntungan duniawi dengan berselubungkan amal akhirat,

Dan orang yang memperdalam pengetahuannya tentang agama bukan untuk agama.

Di saat-saat seperti demikianlah datangnya Mujadid,

Yaitu orang-orang yang berani membuka mulutnya menyatakan:

Stop penyelewengan itu!

Bahwa, selalu akan ada di kalangan umat Muhammad, di tiap zaman, segolongan orang yang mempertahankan kemurnian agama Allah.

Itulah orang-orang yang telah mempertaruhkan segenap jiwa raganya untuk tegaknya kebenaran Tuhan, untuk terpeliharanya keaslian kebenaran Tuhan Allah dan Sunnah Rasulullah, la yakhaafu fillahi laumata laimin di dalam mempertahankan kemurnian dari orang yang hendak membencanakan.

Kadang-kadang mereka tegak seorang diri menyampaikan seruan kebenaran yang disambut dengan cemooh dan lemparan batu.

Kadang-kadang mereka jadi korban, dibuang, dihukum, bahkan disingkirkan oleh pihak yang berkuasa.

Kadang-kadang kita seakan terpencil (ghuraba) karena keteguhan kepada pendirian, yang haq tetap haq walaupun sekeliling kita orang telah tenggelam kepada yang batil.

Ucapan Nabi Luth, "Innii muhaajirun ilaa Rabbii",

Aku hijrah kepada Tuhanku ....

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 21-25, 50, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

IKHLAS DAN NASIHAT

Ikhlas kepada Kitab Allah.

Ikhlas kepada Kitabullah, ialah percaya dengan sungguh-sungguh bahwa kitab itu ialah Kalamullah, yang tiada serupa dengan kalam makhluk. Tidak seorang pun di antara makhluk yang sanggup membuat kitab semacam ini, diturunkan Allah kepada Rasul-Nya untuk menjadi tuntutan kita sekalian.

Kita baca dan kita pahamkan isinya, kita junjung dan kita sucikan, kita perhatikan dengan hati yang khusyu'.

Kita baca dengan fasih dengan huruf yang bermakhraj dan bertajwid, supaya dipelihara dia dari tahrif (diputar-putar) dan tabdil (diganti-ganti).

Benarkan apa yang tersebut di dalamnya, itu hukum yang tertera di sana dan pahamkan isi dan maksudnya, ilmu dan perumpamaannya, selidiki umumnya dan khususnya, ketahui nasikh-mansukhnya, mujmal dan muqayyadnya, taslim (serahkan) kepada Allah dalam hal ayat-ayat yang mutasyabih (ayat yang tidak lantas angan memahamkan).

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 156, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Dulu itu waktu saya kecil kalau ada anjing, itu dilempari karena anjing dianggap najis, dan sebagainya.

Saya pada waktu itu tidak mengerti, dan saya juga jijik terhadap anjing. Saya tidak berani dekat-dekat dengan anjing.

Tapi ketika saya di Mekkah, kok banyak sekali anjing di sana. Di mana-mana ada anjing di Mekkah itu. Jadi penduduk sana memelihara anjing.

Kemudian di Padang, Sumbar, itu ulama-ulama pun memelihara anjing.

Ada pesantren Diniyah di Padang Panjang, anjingnya lebih banyak daripada santrinya. Banyak sekali di sana.

Kemudian saya pernah datang ke Buya HAMKA.

Saya heran, lho Buya HAMKA kok di depan (rumah) ada anjingnya, padahal Buya HAMKA seorang ulama.

Memang dia diejek oleh ulama-ulama NU bahwa dia itu Kiai anjing.


KEMULIAAN

Jaranglah orang berjasa yang mendapat pangkat dunia. Sebab pangkat dunia itu didapat dengan saling berebutan dan saling berkejaran, saling menekan, dan saling memfitnah.

Orang berjasa tidak pandai berbuat begitu. Dia mau mendapat kemenangan yang sah; walaupun tak dilihatnya dengan mukanya ketika hidupnya.

Dia hendak melihat kemenangan itu sesudah matinya, yang kian nyata, dan kian lama kian subur.

Jika dia dihinakan, dicela, dan dimaki karena pikirannya yang merdeka, maka ucapannya ialah sebagaimana syair Arab,

Biarkan daku berkata, dan namailah saya apa pun yang kau suka namakan,

Saya adalah pemaaf dan pemurah.

Cuma satu yang saya tak sanggup menjualnya, yaitu kemerdekaan hati saya sendiri,

Cobalah katakan kepadaku, siapakah yang sudi menjual kemerdekaan hatinya?

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 285-286, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

Buya HAMKA adalah seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang dihormati dan disegani di kawasan Asia hingga Timur Tengah.

Pengabdian dan pengorbanan Buya HAMKA dalam membangun kesadaran umat Islam mendapat apresiasi dari Pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional pada Tahun 2011.

kebudayaan.kemdikbud.go.id/buya-hamka-sosok-suri-tauladan-bermulti-talenta

HAMKA: Hilang Belum Berganti

HAMKA lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura, dan Dunia Islam lainnya, dibanding di Indonesia sendiri.

Karya-karya beliau masih menjadi rujukan utama hingga saat ini.

hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/01/29/3145/hamka-hilang-belum-berganti.html

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

Ketua MUI KH Ma'ruf Amin berharap IBF bisa melahirkan para penulis buku yang berbobot untuk melanjutkan kiprah para ulama seperti Buya HAMKA.

"Umat kini merindukan ulama seperti itu," kata Kiai Ma'ruf.

republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/05/04/opetdp384-kiai-maruf-harap-ibf-lahirkan-penulis-penerus-para-ulama

Kehidupan manusia dan pertumbuhan akalnya itu selalu dipengaruhi oleh alam sekelilingnya, oleh lingkungannya.

Oleh sebab itu, penilaiannya terhadap kebenaran tidak pulalah sama.

Ada orang yang pintar yang disebut khawash.

Ada orang yang pendapat akalnya hanya sederhana saja yang disebut awam.

Kadang-kadang orang hidup sebagai katak di bawah tempurung, menyangka bahwa yang di sekelilingnya itu sudah langit.

Sebab itu, disalahkannya orang yang menyatakan bahwa yang melingkunginya itu belumlah langit, barulah tempurung.

Di sini sudah mulai timbul tampang dari perselisihan.

Kadang-kadang manusia terpengaruh dalam lingkungannya.

Katanya didengar orang, perintahnya diikuti.

Golongan semacam ini tidak mau ada tandingan dan gandingan terhadap dirinya.

Sebab itu, bilamana saja terdengar suara baru, yang berbeda dari yang disuarakannya, dia pasti menentang walaupun suara baru itu benar.

Kadang-kadang timbul perselisihan karena perebutan politik, karena pengaruh golongan, karena takut kedahuluan, ya, kadang-kadang karena provokasi musuh.

Perbedaan pendapat akal, dengan tidak disadari telah ditunggangi oleh hawa nafsu.

Keterangan dan penjelasan yang dibawa Rasul, dikaburkan oleh hawa dan nafsu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 505, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BEBERAPA CATATAN KESIMPULAN TENTANG ASHABUL KAHFI

(2) Cara susunan ayat-ayat al-Kahf dan inti sarinya memberi didikan bagi kita menerima suatu berita, hendaklah terima dengan akal yang cerdas, sehingga agama tidak bercampur dengan dongeng-dongeng. Sebagai penganut agama dengan kesadaran yang kita terima langsung dengan tidak ragu-ragu ialah yang datang dari Allah dan Rasul. Inilah yang menyebabkan timbul suatu cabang ilmu pengetahuan agama dalam Islam, yaitu ilmu mustalah hadits, sehingga sabda Rasul yang akan dijadikan pegangan hidup, yang mesti diterima dengan tidak ragu-ragu, diselidiki lebih dahulu siapa yang membawanya dan dari mana sumbernya. Sebab sabda Nabi tidaklah sampai langsung kepada kita, kalau tidak ada orang perantara yang membawanya. Berkat kesungguhan ulama-ulama hadits itu dapatlah disisihkan di antara hadits yang shahih, atau yang hasan dengan yang dhaif (lemah).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 376, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Al-Qur'an sebagai sumber hukum telah terkumpul menjadi mushaf dan Sunnah atau Hadits Rasulullah saw. sudah tercatat pula selengkap-lengkapnya.

Ulama-ulama yang dahulu telah menyalin pula hadits-hadits itu, menyisih dan menapis, mana yang mutawatir dan mana yang masyhur, dan mana yang aahad.

Dan mana yang shahih, mana yang hasan, mana yang dhaif dan mana yang maudhu' (palsu).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 355-356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau sudah dijadikan anjuran kepada orang, tidaklah dapat hadits-hadits dhaif itu dijadikan dalil, atau hadits dhaif tidak boleh jadi hujjah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Seorang pemuda terpelajar pernah menyatakan kesan-kesannya kepada saya.

Di dekat rumah kami tinggal seorang Pak Haji yang sangat taat beragama.

Tetapi Pak Haji itu sangat pemarah terutama kepada kami pemuda-pemuda yang lalai mengerjakan sembahyang.

Tidak berapa jauh dari rumah Pak Haji itu tinggal pula seorang dokter membuka praktek.

Hati dokter itu sangat baik. Orang kaya atau orang miskin yang berobat padanya diobatinya dengan penuh cinta. Daripada pasiennya yang miskin ia tidak meminta bayaran.

Sayang dokter itu tidak pernah shalat.

Pada suatu hari, anjing dokter itu masuk ke dalam pekarangan rumah Pak Haji.

Sangatlah murka Pak Haji melihat anjing itu sebab menurut pelajaran agama yang diterimanya.

Dengan tidak berpikir lagi diambilnya sekerat kayu dipukulnya anjing itu sekuat-kuatnya sehingga patah kakinya.

Anjing itu lari terkengkeng-kengkeng kembali ke pekarangan rumah tuannya.

Melihat anjingnya lari dengan kaki patah sambil menggoyang-goyangkan ekornya di hadapan tuannya, dokter itu pun memeluk anjingnya dengan menggeleng-gelengkan kepala sambil melihat ke rumah Pak Haji.

Pak Haji masuk ke dalam rumahnya sambil menutup pintu.

Pemuda itu bertanya kepadaku, "Manakah yang lebih baik antara Pak Haji yang taat shalat lima waktu tetapi begitu kasar budinya dibanding dokter yang tidak sembahyang tetapi punya rasa kasihan kepada manusia dan binatang sekalipun?"

Saya sambut pertanyaan itu, "Lebih dahulu saya hendak bertanya, shalat itu sendiri baik atau tidak?"

Pemuda terpelajar itu menjawab, "Shalat tentu baik".

Maka saya berilah jawaban tentang masalah Pak Haji dan Dokter itu.

"Pak Haji akan bertambah jahat hatinya kalau dia tidak sembahyang.

Pak Dokter akan bertambah tinggi budinya dan baik hatinya kalau dia menjalankan shalat."

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 156, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

TIGA PERINTAH TIGA LARANGAN

"Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan (kebajikan) dan memberi kepada keluarga yang terdekat." (pangkal ayat 90).

Arti ihsan ialah mengandung dua maksud.

Pertama selalu mempertinggi mutu amalan, berbuat yang lebih baik daripada yang sudah-sudah, sehingga kian lama tingkat iman itu kian naik.

Di dalam hadits Rasulullah saw. yang shahih disebut,

"Al-Ihsan ialah bahwa engkau sembah Allah seakan-akan engkau lihat Allah itu. Maka jika engkau tidak lihat Dia, namun Dia tetap melihat engkau."

Maksud ihsan yang kedua ialah kepada sesama makhluk, yaitu berbuat lebih tinggi lagi dari keadilan.

Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya,

"Maka sesungguhnya Allah suka sekali hamba-Nya berbuat ihsan sesama makhluk, sampai pun kepada burung yang engkau pelihara dalam sangkarnya, dan kucing di dalam rumah. Jangan sampai mereka itu tidak merasakan ihsan dari engkau."

"Dan melarang dari yang keji dan yang dibenci dan aniaya."

Inilah pula tiga larangan Allah yang seyogianya dijauhi oleh orang yang mengaku beriman kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 208, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).