Rabu

UNTOLD STORY BUYA HAMKA DAN MAULID NABI SAW.

Untold Story Buya HAMKA di Mata Sang Anak - Buya Afif HAMKA (Putra Buya HAMKA)

youtube.com/watch?v=f0SQheICy1o

BERAGAMA JANGAN MELEBIH-LEBIHI

Niscaya teguran Allah kepada Ahlul Kitab ini menjadi sindiran juga bagi kita umat Muhammad, agar kita jangan sampai berlebih-lebihan pula di dalam meninggikan Nabi Muhammad saw. karena menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dari Umar bin Khaththab,

Berkata Rasulullah,

"Janganlah kamu angkat-angkat aku, sebagaimana orang Nasrani mengangkat-angkat anak Maryam. Aku ini lain tidak, adalah hamba Allah. Sebab itu katakanlah hamba Allah dan utusan-Nya." (HR. Bukhari).

Berkata Imam Ahmad bin Hambal, Aku terima hadits dari Hasan bin Musa, dia menerima hadits itu Hammad bin Salamah, dan Tsabit al-Bunany dan Annas bin Malik; bahwa seseorang berkata,

"Ya Muhammad, wahai tuan kami, anak tuan kami, orang baik kami, anak dari orang baik-baik kami!"

Mendengar itu berkata Rasulullah saw.,

"Wahai manusia! Janganlah berkata begitu, janganlah kamu sampai disesatkan oleh Setan. Aku ini adalah Muhammad anak Abdullah, seorang hamba Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah, tidaklah aku senang hati jika kamu angkat-angkat aku melebihi dari kedudukanku yang telah didudukkan aku oleh Allah padanya!"

Kedua hadits inilah yang telah memberikan ilham bagi al-Bushairiy ketika dia menyusun syair burdah memuji-muji Rasulullah saw.,

Tinggalkanlah apa yang didakwahkan oleh orang Nasrani terhadap Nabi mereka.

Sesudah itu putuskan sendirilah apa pujian yang engkau berikan kepadanya, tetapi batasilah diri.


(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 567, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DISIPLIN KEPADA RASUL

Kemudian datanglah ayat 63, menerangkan, bahwa menyeru nama Rasul tidaklah serupa dengan menyerukan nama di antara kita sama kita.

Sedangkan Allah sendiri belum pernah menyebut namanya "Ya Muhammad", hanya dengan memanggil pangkat tugasnya:

"Ya Nabiyu". Wahai Nabi. "Ya Ayyuhar Rasulu". Wahai Utusan Allah SWT. Atau kata sindiran "Wahai yang berselimut" (Ya Ayuhhal Muzammil). Atau "Ya Ayyuhal Muddatsir" (Wahai orang yang berselubung).

Cara Allah SWT memperlakukan Nabi-Nya dengan menghormatinya secara demikian, adalah suri teladan bagi kita sebagai umatnya. Dan kalau hendak meninggalkan majelisnya sebelum selesai pekerjaan, memohon izinlah dengan terus terang, jangan mengeluyur saja keluar seorang demi seorang dengan diam-diam, sehingga di akhir pekerjaan dilihat kawan sudah hilang satu hilang dua saja, tak diketahui ke mana perginya.

Maka diperingatkanlah, bahwa sikap-sikap yang demikian, baik bersikap kurang hormat kepada nama beliau seketika memanggilnya, ataupun meninggalkan majelisnya dengan tidak memohonkan izinnya terlebih dahulu adalah perbuatan yang sangat salah, yang tidak layak dilakukan oleh orang yang beriman.

Perbuatan demikian adalah kelakuan orang yang masih kurang matang imannya, bahkan sebagai tanda alamat dari orang yang munafik.

Orang yang demikian haruslah ingat, bahwa perbuatannya yang salah akan berbahaya juga akhir kelaknya, akan ada-ada saja bahaya dan fitnah yang akan menimpa dirinya atau merusakkan masyarakat bersama, karena ada yang tidak setia.

Bahkan terancam oleh adzab siksa Ilahi yang lebih besar.

Sekarang timbullah pertanyaan:

Apakah keadaan yang seperti ini masih berlaku buat kita umat Muhammad saw. yang datang di belakang beliau ini? Padahal kita tidak hadir lagi dalam majelis beliau?

Janganlah berpikir begitu, tetapi ingatlah, bahwa syahadat kita: "Tidak ada Tuhan selain Allah", belumlah cukup sebelum diiringi dengan "Muhammad adalah Utusan Allah".

Kita tidak dapat menyelenggarakan apa yang diperintah oleh Allah SWT, di luar dari tuntunan yang diberikan oleh Nabi.

Meskipun kita tidak hadir lagi dalam majelisnya, namun kita tidak lepas dari tuntunannya.

Dia sebagai insan telah meninggal, tetapi ajarannya tetap hidup dalam hati kita.

Bertambah besar pengaruh pribadi Muhammad atas diri kita, bertambah bersinarlah iman dalam hati kita.

Tentu kita dapat mengerjakan sesuatu yang tidak mengurangi hormat kita kepada beliau setelah beliau wafat, sebagaimana orang yang hidup di sekelilingnya dapat mengerjakan seketika beliau hidup.

Misalnya jika dibaca orang suatu sabda beliau, kita dengarkan baik-baik.

Sebagaimana Imam Malik setiap akan mengajarkan hadits Rasulullah dia dalam masjid beliau di Madinah, dipakainya bajunya yang bersih dan dia berwudhu lebih dahulu.

Dan bila disebut namanya jangan dilupakan mengucapkan "Shallallahu 'alaihi wasallama".

Kita menghormati memuliakannya di dalam batas Tauhid.

Tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan Utusan-Nya.

BER-SAYYIDINA

Salah seorang pelopor tafsir modern Sayyid Rasyid Ridha kurang senang atas kebiasaan penafsir-penafsir lama yang selalu menafsirkan ayat-ayat yang dimulai dengan qul, ditafsirkan, "Katakan olehmu hai Muhammad!" Karena Allah SWT tidak berkata begitu.

Dalam rangka ini timbullah khilafiyah di kalangan ulama tentang shalawat kepada Nabi saw.

Seketika orang bertanya kepada Rasulullah saw. bagaimanakah mestinya kami mengucapkan shalawat kepada Engkau ya Rasulullah? Beliau menjawab,

"Ucapkanlah Allahumma Shalli 'ala Muhammadin wa 'ala ali Muhammad." (tidak memakai Sayyidina).

Setengah ulama berpaham, bahwa tidaklah akan mungkin Nabi menyuruhkan orang ber-sayyidina kepada dirinya. Oleh sebab itu tidaklah akan terhitung bid'ah jika kita tambahkan Sayyidina, dari sebab ijtihad kita bersandar kepada ayat-ayat yang memerintahkan menghormatinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 336-337, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, dikutuklah mereka oleh Allah di dunia dan di akhirat, dan Dia sediakan untuk mereka adzab yang membuat hina." (QS. al-Ahzaab: 57).

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"Tidaklah ada bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa memohonkan ampun untuk orang-orang musyrik, meskipun adalah mereka itu kaum kerabat yang terdekat." (pangkal ayat 113).

Di dalam rasa bahasa Arab ini dinamai nafyusya'an yang boleh dikatakan tidak mungkin.

Sebab itu, meskipun dia hanya mengatakan tidak ada, artinya yang mendalam tidak boleh!

"Sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu ahli neraka." (ujung ayat 113).

Artinya Allah telah menegaskan bahwa sekalian dosa dapat diampuni-Nya, kecuali dosa syirik, mempersekutukan yang lain dengan Allah. Kalau dosa syirik tidak terampun, teranglah orang musyrik itu ahli neraka.

Demikian juga Nabi kita saw. mendesak-desak Abu Thalib atau merayu-rayunya masuk Islam sebelum pamannya itu meninggal dunia, ialah karena dia masih mempunyai harapan bahwa pengaruh cintanya kepada paman itu, akan dapat memberi petunjuk pamannya kepada jalan yang benar. Tetapi setelah nyata pamannya itu mati musyrik, dia pun tidak memintakannya ampun lagi.

Bahkan ketika akan menziarahi ibunya karena dia sudah tahu duduk persoalan, meminta izin dia dahulu kepada Allah, lalu diberi izin. Dan dicobanya lagi meminta izin memohonkannya ampun, tidak diberi izin oleh Allah. Dia pun tunduk pada ketentuan Allah itu, langsung tidak dimintakannya ampun lagi untuk ibunya.

Demikian jugalah kaum beriman yang lain. Mereka tidak lagi akan memintakan ampun buat orang musyrikin, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang itu adalah ahli neraka. Sejak itu awaslah mereka dan dengan amat hati-hati mereka pelihara ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan Allah.

Dengan ini ditegaskan bahwa berijtihad boleh selama belum ada ketentuan atau nash dari Allah. Kalau nash sudah datang ijtihad hentikan dan tunduklah kepada nash.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 300-304, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MADZHAB YANG BENAR DARI AHLI SUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)

ADAB KEPADA RASULULLAH SAW.

Menarik hati juga perbincangan ulama-ulama tafsir tentang ayah Ibrahim ini. Ada yang mengatakan, kononnya dari kalangan Madzhab Syi'ah bahwa Azar itu bukanlah ayah Ibrahim, tetapi saudara ayahnya (pamannya). Mereka menonjolkan penafsiran begini untuk menegakkan suatu pendirian bahwa ibu-bapak seorang nabi atau rasul tidaklah mungkin seorang kafir. Lantaran itu, segala ayat yang berhubungan dengan kisah Ibrahim dengan ayahnya, selalu mereka artikan pamannya. Untuk itu pula mereka kuatkan bahwa yang ayah Ibrahim itu memang Tarah namanya, bukan Azar.

Pendapat itu pun mempunyai ekor yang lanjut, yaitu buat menegakkan pendapat bahwa ayah bunda nabi kita, Muhammad saw. pun bukanlah kafir, tetapi Islam juga sebagaimana ayah kandung Ibrahim.

Niscaya timbulnya pendapat atau pendirian yang begini tidak lain daripada rasa cinta dan hormat kepada nabi-nabi jua. Apalagi Rasulullah saw. memang pernah mengatakan bahwa beliau dilahirkan ke dunia, sejak nenek moyangnya sampai ke atas sekali, yaitu kepada Adam, tidak sekali juga nenek-neneknya yang lahir ke dunia dari hubungan di luar nikah, yang disebut sifaah. Padahal, jika rasul dari nenek moyangnya tidak ada yang lahir di luar nikah, bukanlah berarti nenek moyang beliau tidak ada yang tersesat menyembah berhala. Namun, adanya pendirian yang demikian tidak pula lain dari semata-mata bebasnya perkembangan ijtihad dalam Islam. Rasa cinta kepada Rasulullah saw. dan kepada neneknya Ibrahim, menyebabkan orang "tidak sampai hati" akan menyebut bahwa ibu-bapak Nabi saw. atau ibu-bapak Ibrahim tidak Islam atau kafir atau masuk neraka.

Padahal ada hadits Rasulullah saw. sendiri yang dirawikan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Anas bin Tsabit bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah saw., "Di mana ayahku, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Di neraka!" Setelah orang yang bertanya itu berdiri hendak pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah saw. dan beliau bersabda,

"Sesungguhnya bapakkku dan bapak engkau di neraka!" (HR. Muslim).


Lalu ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah-nya, "Di sini jelas bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir maka masuk nerakalah dia dan tidaklah bermanfaat baginya karena kerabat (kekeluargaan). Dan di dalam hadits ini pun dapat dipahamkan bahwa orang yang mati dalam zaman fitrah dalam keadaan apa yang dipegang oleh orang Arab, menyembah berhala, dia pun masuk neraka. Dan ini tidaklah patut diambil keberatan yang mengatakan bahwa belum sampai kepada mereka dakwah karena kepada mereka sudahlah sampai dakwah Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. Dan Nabi saw. mengatakan ayahku dan ayahmu dalam neraka, ialah untuk menunjukkan pergaulan yang baik dan pengobat hati yang bertanya karena sama-sama dalam menderita sedih."

Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi.

"Memohon izin aku kepada Tuhanku hendak memintakan ampun untuk ibu, tetapi tidak diberi izin kepadaku. Lalu aku mohon izin hendak menziarahi kuburnya lalu aku diberi izin." (HR. Muslim).


Malahan dalam hadits yang lain diterangkan bahwa beliau sampai menangis di kubur itu dan memberi anjuran umatnya supaya ziarah ke kubur untuk mengingat mati.

Maka dengan hadits-hadits yang shahih ini tetaplah ada yang berpegang teguh bahwa ayah dan bunda Nabi itu mati belum dalam Islam, apalagi ayah Nabi Ibrahim.

Akan tetapi, golongan ulama-ulama Salaf walaupun yang berpegang teguh pada hadits-hadits yang shahih itu sendiri, tidaklah kurang hormat mereka kepada Rasul dalam hal yang berkenaan dengan ibu-bapak dan keluarga beliau, walaupun yang mati belum dalam Islam sebagaimana Abu Thalib.

Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz pernah memecat memberhentikan seorang pegawai karena terloncat mulutnya yang salah berkenaan dengan kedua orang tua Rasulullah saw. Pegawai tinggi itu disuruh mencari seorang juru tulis (sekretaris). Orang itu dapat dan dibawa menghadap, padahal ayah calon pegawai itu kafir. Kemudian, Khalifah berkata kepada pegawai tinggi itu, "Mengapa tidak engkau bawa seorang calon dari keturunan Muhajirin?" Pegawai Tinggi itu menjawab, "Apakah salahnya, ya, Amirul Mukminin kalau orangnya sendiri baik Islamnya. Sedangkan bagi Nabi kita tidaklah membahayakan karena ayah beliau seorang kafir!" Mendengar jawab yang tidak senonoh itu, berkata Khalifah, "Engkau telah mengambil itu menjadi perumpamaan? Mulai hari ini engkau tidak boleh lagi bekerja dengan aku!"

Contoh yang lain ialah Imam Syafi'i sendiri terhadap sebuah hadits yang sudah terkenal, yaitu, "Kalau Fatimah mencuri, niscaya aku potong tangannya."

Ketika Imam Syafi'i membicarakan hadits ini, beliau berkata, "Kalau sekiranya si Fulanah, perempuan anu yang mulia itu mencuri, niscaya aku potong juga tangannya."

Kita pun sudah tahu, ulama hadits tidak akan mengubah bunyi hadits. Imam Syafi'i bukan tak tahu hal itu. Namun, beliau pun tahu bahwa hadits itu sudah dikenal oleh semua orang. Maka demi hormatnya kepada Rasul, dipakainya kata lain, guna memuliakan putri beliau sehingga tidak ditetapkannya namanya, sebab kurang hormat dirasanya untuk dirinya sendiri mendekatkan nama Fatimah dengan kalimat "curi".

Salaf yang saleh, sebagai Imam Syafi'i dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu telah memberikan adab yang tinggi bagi kita tetap menghormati Rasul baik di kala hidupnya ataupun sesudah wafatnya sehingga dijaga juga perasaan beliau jangan tersinggung, dimisalkan beliau ada dalam waktu ini.

Maka Madzhab yang benar dari Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat tidaklah beradat seorang yang menyebut-nyebut keluarga Rasul saw. baik ayah bundanya ataupun paman-pamannya yang akan menyakiti perasaan beliau.

Ketika membicarakan Abu Thalib, sebutlah jasanya, jangan disebut mati kafirnya. Mengenai Abu Lahab, bahkan sampai satu surah menyebut kejahatannya, tetapi jangan sampai disangkut-pautkan kekafirannya dengan hubungan kekeluargaannya dengan Rasul saw.

Menurut sebuah hadits Bukhari Muslim bahwa pada suatu hari Hassan bin Tsabit memohon izin kepada Rasulullah saw. mengarang syair mencela kaum musyrikin. Kemudian, Rasulullah sebelum mengizinkan bertanya terlebih dahulu kepada Hassan, "Bagaimana tentang hubungan nasab (keturunanku) dengan mereka?" Hassan menjawab, "Akan aku helakan nama Rasulullah dari mereka, laksana menghelakan rambut dari dalam tepung!" Artinya, akan aku bersihkan nasab engkau dari nasab mereka sehingga engkau tidak terkena dalam celaan. Dan dalam riwayat yang lain tersebut pula bahwa Hassan meminta izin mengarang syair mencela Abu Sufyan. Beliau pun bertanya pula, "Bagaimana tentang hubungan kekeluargaanku dengan dia?" Hassan pun menjawab seperti jawaban tersebut. Padahal, waktu itu Abu Sufyan masih manusia yang paling memusuhi beliau.

Pada kedua riwayat hadits ini kita melihat adab beliau dan kita pun wajib menegakkan adab itu pula terhadap beliau, Rasulullah saw.

Demikianlah pada suatu hari kira-kira bulan Mei 1950 saya shalat Jum'at di salah satu masjid di Jakarta. Khatibnya memang sudah modern dan berkhutbah dengan tangkasnya. Di dalam khutbahnya itu merembetlah ke dalam urusan dzurriyat Rasul tentang keturunan Hassan dan Hussin bin Abi Thalib yang menurut tradisi dipanggil sayyid. Karena Nabi saw. sendiri yang bersabda, "Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid!" Beliau ucapkan untuk Hassan bin Ali r.a.

Memang sudah lama menjadi perbincangan di kalangan orang Arab, terutama di Indonesia tentang boleh tidaknya selain dari kaum Ba'alawi memakai titel sayyid itu.

Kemudian Al-Irsyad memakai gelar itu pula, yang menimbulkan keguncangan dalam kalangan keturunan Arab dari Hadhramaut bertahun lamanya.

Sampai dia berbicara dalam khutbah, hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah saw. janganlah hendak dibangga-banggakan. Sebab keluarga Rasul saw. sendiri pun bisa jadi orang jahat. Cobalah lihat Abu Lahab, dia itu adalah paman kandung Nabi. Dan anak laki-lakinya kawin dengan anak perempuan Nabi (besan Nabi), dan seterusnya.

Entah bagaimana telinga seni khutbahku tidak senang mendengar. Sebab keluar dari masjid, seorang sahabatku yang bergelar sayyid, keturunan Ba'alawi, berkata kepadaku dengan wajah yang menunjukkan tidak senang. Dan dia pun mengenal haluan agamaku. Katanya, "Bagus benar khutbah itu!" Kemudian kujawab, "Memang, khatib itu telah menunjukkan kepada kita betapa luas pengetahuannya. Cuma satu saja yang kurang rupanya dibacanya."

Kawan itu bertanya, "Apa yang kurang?"

Aku jawab, "Adab kepada Rasulullah saw. Kasarnya ialah kurang ajar!"

Maka, kawan itu mengulurkan tangan, bersalam dengan aku, dengan hangat!

Dengan sahabat itu juga, kami berziarah kepada Sayyid Amin Husaini di Mesir (Oktober 1950). Sehabis ziarah dan pertemuan dengan mufti tersebut kira-kira dua jam lamanya, ketika akan pulang, aku jabat tangan beliau dan aku cium. Sampai di luar sahabatku itu berkata pula, "Mencium tangan habib? Tidak anti?"

Aku jawab pula, "Kalau itu habibnya, bukan saja mencium, menelan pun aku mau."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 190-192, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KETURUNAN NABI SAW.

Perhatikanlah kembali hadits-hadits yang telah kita salinkan di atas. Disana tersimpul bahwa Nabi kita saw. sangatlah mengasihi anak cucu keturunannya itu.

Beliau meminta kepada kita umat beliau ini supaya turut mengasihi cucu-cucunya itu.

Beliau meminta agar kita memandang mereka sebagai anak beliau juga.

Jika orang lain mengambil keturunan dari ayahnya, Rasulullah mengecualikan anak-anak Fatimah, agar dipandang sebagai anak keturunan beliau.

Hal ini janganlah kita entengkan.

Junjung tinggilah pengharapan Nabimu.

Pernah saya mendengar seorang khatib yang lancang, berkhutbah di satu Jum'at mengatakan bahwa Rasulullah tidak ada keturunan.

Orang yang mengakui keturunan Rasulullah adalah tidak sah.

Nyatalah bahwa khatib ini tidak mengetahui sopan santun Islam.

Orang yang memungkiri keturunan Nabi sendiri bahwa Hasan dan Husain anak Fatimah, diakui Nabi sebagai anak cucunya atau keturunannya, sampai ada khatib Jum'at, yang tidak ada ilmu, memungkiri keturunan Nabi dalam khutbah Jum'at.

Orang seperti itu bukan ilmunya yang bercakap, tetapi karena belum mengetahui, maka sentimennyalah yang keluar.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 435-436, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SURAH AL-INSYIRAAH

"Dan telah Kami tinggikan bagimu sebutan kamu." (ayat 4).

Mujahid menafsirkan,

"Tidaklah disebut tentang nama-Ku, pasti di sana namamu turut disebutkan juga bersama nama-Ku."

Menurut riwayat yang dirawaikan oleh Abu Dhahhak dari Ibnu Abbas, berkata beliau,

"Bila disebut orang nama-Ku, namamu pun turut disebut dalam adzan, dalam iqamah, dalam syahadat. Di Hari Jum'at di atas mimbar, di Hari Raya Idul Fithri, di Hari Raya Idul Adha, di Hari Tasyriq di Mina, di hari Wuquf di Arafah, di hari melontar jumrah ketiganya, di antara bukit Shafa dan Marwah, bahkan sampai kepada khutbah nikah; namamu dijajarkan menyebutnya dengan nama-Ku, sampai ke timur, sampai ke barat. Malahan jika adalah seseorang beribadah kepada Allah yang Maha Kuasa, seraya mengakui akan adanya surga dan neraka, dan segala yang patut diakui; tapi tidak dia akui bahwa engkau Rasulullah, tidaklah ada manfaatnya segala pengakuannya itu, malahan dia masih kafir."

Demikian satu tafsir Ibnu Abbas.

Dan lebih tepat lagi tafsir Imam asy-Syafi‘i. Beliau berkata,

"Tidak disebut nama-Ku, melainkan mesti diiringi dengan namamu. Kalau orang mengucapkan Asyhadu Alla ilaha Illa Allah, barulah sah setelah diiringi dengan Wa Asyhadu Anna Muhammad Rasulullah."

Kata Imam Syafi'i lagi,

"Ucapan syahadat yang seiring dua itu adalah tanda iman, dan ucapan seiring pada adzan adalah panggitan ibadah. Diseiringkan pula ketika membaca Al-Qur'an dan segala amal saleh dan taat, dan ketika berhenti dari maksiat."

Kata beliau seterusnya,

"Apa saja pun nikmat yang menyentuh kita, baik lahir ataupun batin. Atau nasib baik yang kita capai, baik dunia atau akhirat, atau kita terhindar bencana dosa yang kita benci, di dunia dan akhirat, atau di salah satu keduanya; pastilah Muhammad yang menjadi sebabnya."

Dari itu dapatlah diketahui bahwa meskipun pada lahirnya sebutan itu terbatas, namun dia pun mengandung juga dzikrul qalbi (ingatan dalam hati) sehingga meliputi segala lapangan ibadah dan ketaatan.

Seorang yang berakal lagi beriman, apabila dia mengingat Allah, akan senantiasa teringat pula kepada orang yang memperkenalkan Allah itu kepadanya, dan siapa yang menunjukkan jalan bagaimana cara mentaati perintah Allah itu.

Itulah Rasul Allah saw. seperti yang dikatakan orang,

"Engkau adalah laksana pintu untuk menuju Allah; siapa saja yang hendak datang kepada-Nya tidaklah dapat masuk, kalau tidak melalui gerbangmu."

Demikian tafsir dari Imam asy-Syafi'i.

Dan boleh juga engkau katakan.

"Yang dimaksud dengan meninggikan sebutannya itu ialah selalu memuliakannya dan menyebut namanya pada sekalian syiar-syiar agama yang lahir. Yang pertama sekali ialah kalimat Syahadat, sebagai pokok pertama dari agama. Kemudian itu pada adzan, iqamah, dan shalat dan khutbah, dan sebagainya."

Itulah tafsir dari asy-Syihab.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 241-242, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-KAUTSAR

"Sesungguhnya orang yang membenci engkau itulah yang akan putus." (ayat 3).

Menurut bahasa yang dipakai orang Arab kalau ada seseorang yang banyak anaknya, laki-laki dan perempuan, tiba-tiba anak-anaknya yang laki-laki meninggal semuanya di waktu kecil, orang itu dinamai Abtar, yang kita artikan putus, yaitu putus turunan.

Nabi Muhammad saw. mempunyai banyak putra dengan Khadijah, empat anak perempuan (Zainab, Ruqaiyah, Ummi Kultsum, dan Fatimah).

Dan anak laki-laki beliau bernama Abdullah, Qasim, dan Thahir.

Dan setelah tinggal di Madinah beliau mendapat anak laki-laki pula, namanya Ibrahim.

Tetapi anak laki-laki ini semuanya wafat saat waktu kecil.

Menurut suatu riwayat dari Ibnu Ishaq, dari Yazid bin Rauman, "Al-Ash bin Wail selalu berkata mencemoohkan Nabi saw., 'Biarkan saja dia bercakap sesukanya. Dia akan putus turunan! Kalau dia sudah mati, nanti habislah sebutannya!"

Menurut riwayat dari Atha, paman Nabi sendiri, Abu Lahab sangat memusuhi Nabi, setelah mendengar anak laki-laki Nabi telah meninggal. dia pergi menemui kawan-kawannya sesama musyrikin dan berkata, "Sudah putus turunan Muhammad malam ini!"

Menurut suatu riwayat pula dari Syamr bin Athiyyah, Uqbah bin Abu Mu'ith pun setelah mendengar anak laki-laki Rasulullah meninggal, dengan gembira berkata, "Putuslah dia!"

Rupanya ratalah menjadi penghinaan pada waktu itu atau pelepaskan sakit hati bagi musuh-musuh beliau kaum musyrik, termasuk paman beliau sendiri Abu Lahab karena anak laki-laki beliau wafat, habislah dan pupus turunan Muhammad dan tidak akan ada lagi sebutannya.

Maka turunlah ayat ini,

"Sesungguhnya orang-orang yang membenci engkau itulah yang akan putus."

Sedang engkau sendiri tidaklah akan putus.

Mereka telah mencampuradukkan kebenaran agama dengan kekayaan dan keturunan.

Mentang-mentang Muhammad saw. tidak mempunyai keturunan laki-laki, akan putuslah sebutannya.

Sangkaan mereka, kalau Muhammad saw. wafat, tidak akan ada lagi orang yang mengganggu-gugat penyembahan berhala.

Itulah persangkaan yang salah.

Di permulaan ayat telah difirmankan Allah bahwa pemberian-Nya kepada Rasulullah saw. sangatlah banyaknya.

Satu di antara nikmat yang banyak itu ialah seperti yang ditafsirkan Abu Bakar bin Iyyasy dan Yaman bin Ri'ab, "Banyak sahabatnya, banyak umatnya, dan banyak pengikutnya." Beribu-ribu, berjuta-juta, bermiliar manusia.

Sedang orang-orang yang membencinya itu sebagian besar mati dalam Peperangan Badar karena kalah berperang dengan Nabi Muhammad saw. dan pengikutnya.

Abu Lahab sendiri, seorang di antara anak laki-lakinya mati diterkam singa. Dan dia sendiri mati karena sakit hati, setelah teman-temannya kalah di Perang Badar.

Abu Fadhl al-Arudhiy menafsirkan, bahwa al-Kautsar, pemberian yang sangat banyak itu dianugerahkan Allah juga bagi Muhammad dengan keturunan dari pihak anak perempuan, yaitu keturunan Fatimah.

Sampai sekarang, sudah 14 Abad lebih, masih saja bertebaran di muka bumi ini anak keturunan Fatimah.

Ada yang menjadi raja-raja, ada yang menjadi ulama, dan penganjur politik.

Sedang orang-orang yang membencinya itu putuslah berita mereka, tidak ada kabarnya lagi.

Benarlah janji Allah, merekalah yang terputus.

Marilah kita camkan kebenaran firman Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 306-307, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan Kami anugerahkan berkah atasnya dan atas Ishaq." (pangkal ayat 113).

Yang dimaksud dengan kalimat atasnya ialah anak Ibrahim yang tertua, yaitu Isma'il. Dia dianugerahi berkah oleh Allah SWT, dan Ishaq, adiknya dari lain ibu dianugerahi berkah pula.

Kedua keturunannya berkembang biak di muka bumi.

Ishaq menurunkan Ya'qub, dan Ya'qub beranakkan Yusuf, sesudah itu berkembang biaklah dan banyaklah nabi-nabi dan rasul-rasul dari Bani Israil itu, termasuk Musa dan Harun, Dawud dan Sulaiman, Zakaria dan Yahya, Isa al-Masih.

Dan dari Isma'il, meskipun jaraknya jauh, namun yang turun dari dia adalah Khatimul-Anbiya' wal Mursalim, penutup sekalian nabi dan rasul, Muhammad saw.

"Dan dari keturunan keduanya ada yang berbuat kebajikan dan ada yang zalim terhadap dirinya sendiri dengan nyata." (ujung ayat 113).

Ujung ayat ini adalah peringatan dari Allah SWT untuk menjelaskan keadilan-Nya. Yaitu, meskipun Isma'il dan Ishaq anak kandung dari Ibrahim, dan keduanya diberi berkah oleh Allah SWT, dan keturunan keduanya berkembang biak di muka bumi, sampai sekarang, maka Allah SWT menunjukkan juga akan kenyataan, bahwa di antara keturunan orang-orang suci ini ada juga yang tidak menuruti jalan nenek moyangnya, yang suka menumpang di mana saja, mentang-mentang keturunan nabi.

Orang-orang semacam itu janganlah mengharap bahwa mereka akan bebas dari pertanggungjawaban.

Hal ini tentu dapat juga dipikirkan oleh orang-orang yang disebut keturunan Nabi Muhammad saw.

Janganlah menyangka bahwa jika diri keturunan nabi, bebas berbuat dosa.

Ingatlah bahwa Qarun yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an dan Abu Lahab adalah juga keturunan Ibrahim.

Kalau di ujung ayat dikatakan "zalim terhadap dirinya dengan nyata", teranglah bahwa kejahatan dan kezaliman itu tidak dapat disembunyikan di hadapan Allah dan tidak pula dapat membela diri di hadapan manusia, misalnya mengatakan bahwa keturunan nabi-nabi tidaklah boleh dinamai zalim kalau dia jahat. Katakan saja dia tetap baik, bagaimanapun jahatnya, sebab dia keturunan nabi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 502-503, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SIAPAKAH YANG HENDAK DIKORBANKAN ITU? ISMA'IL-KAH ATAU ISHAQ?

Banyaklah dibicarakan tentang siapa yang hendak dikorbankan oleh ayahnya ini, Isma'il-kah atau Ishaq?

Ahli-ahli tafsir yang besar-besar, sejak dari Thabari, Razi, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, dan lain-lain telah turut membicarakan dengan hangat.

Sebab perlainan pendapat tentang ini telah terjadi sejak zaman sahabat sendiri.

Ada yang mengatakan yang hendak disembelih itu Ishaq dan ada yang mengatakan Isma'il.

Menurut yang dinukilkan oleh al-Qurthubi, Abbas bin Abdul Muthalib dan putra beliau Ibnu Abbas berpendapat, Ishaq.

Tersebut pula bahwa ketika orang bertanya kepada Abdullah bin Mas'ud, siapakah orangnya, orang mulia anak dari orang mulia, anak dari orang mulia? Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Yaitu Yusuf, anak Ishaq Dzaby'hullah (sembelihan Allah) anak Ibrahim."

Jabir bin Abdillah pun berpendapat memang Ishaq.

Dirawikan orang pula, bahwa Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar berpendapat memang Ishaq juga.

Dan tersebut pula bahwa Umar bin Khaththab pun berpendapat demikian.

Dengan demikian terdapat 7 sahabat utama berpendapat bahwa yang hendak disembelih itu Ishaq.

Al-Qurthubi menyalinkan pula nama-nama tabi'in yang menganut pendapat itu, "Yaitu Ishaq". Mereka ialah Alqamah, asy-Sya'bi, Mujahid, Said bin Jubair, Ka'ab al-Ahbaar, Qatadah, Masruq, Ikrimah, al-Qasim bin Abi Bazzah, Atha, Muqatil, Abdurrahman bin Abdillah bin Sabith, az-Zuhri, as-Suddi, Abdullah bin Abil Hudzail, dan Imam Malik bin Anas.

Salah satu dari beliau-beliau tabi'in itu, yaitu Said bin Jubair memberi tafsir tentang pendapatnya itu demikian,

"Diberi mimpi Ibrahim bahwa dia menyembelih Ishaq. Maka dibawanyalah anaknya itu perjalanan satu bulan dalam satu pagi saja, sehingga sampai di tempat penyembelihan kurban (al-Manhar) di Mina. Setelah anak itu hendak disembelihnya, dipalingkan Allah-lah tangannya lalu segera diganti waktu itu juga dengan seekor domba, dan itulah yang disembelihnya. Selesai penyembelihan itu di waktu petang, kembalilah dia ke negeri tempat tinggalnya (Syam) pada waktu sore itu juga, dengan melangkahi lembah-lembah dan gunung-gunung."

Yang berpendapat bahwa yang hendak disembelih itu ialah Isma'il di antaranya ialah Abu Hurairah dan Abuth Thufail Amir bin Waailah, dan diriwayatkan juga bahwa Ibnu Abbas pun pernah menyatakan bahwa memang Isma'il. Demikian juga Abdullah bin Umar. Dan tabi'in yang memegang pendapat ini ialah Said bin Musayyab, asy-Sya'bi, Yusuf bin Mihraan, Mujahid, Rabi bin Anas, Muhammad bin Ka'ab al-Quradzi, al-Kalbi dan Alqamah. Abu Said adh-Dharir pun berpendapat, Isma'il.

Ketika al-Ashma'i bertanya kepada Abu Amr bin al-Alaa tentang siapa yang hendak disembelih itu, beliau menjawab,

"Di mana engkau letakkan akalmu, hai Ashma'i! Di mana pula pernah Ishaq di Mekah. Yang ada di Mekah adalah Isma'il, bukan Ishaq. Dialah yang bersama ayahnya diperintah Allah SWT membina Ka'bah dan Manhar, tempat penyembelihan, hanya ada di Mina, bukan di Syam."

Thabari sebagai ahli tafsir yang tertua, menguatkan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq.

Ibnu Katsir sebagai penafsir yang terbilang juga membatalkan alasan-alasan dari pendapat tentang Ishaq itu dan menguatkan bahwa Isma'il.

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, di antara lain,

Dan telah terdahulu riwayatnya dari Ka'ab al-Ahbaar, bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq. Dan begitulah yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dari Abdullah bin Abu Bakar dan az-Zuhri dari Abu Sufyan dari al-Alaa bin Jariyah dari Abu Hurairah, yang diterimanya dari Ka'ab al-Ahbaar juga.

Maka diambillah kesimpulan bahwa segala riwayat itu bersumber dari Ka'ab al-Ahbaar. Maka dia itu setelah memeluk Islam di zaman pemerintahan Sayyidina Umar banyaklah bercerita riwayat-riwayat dengan membuka kitab-kitab lamanya.

Oleh Umar kadang-kadang didengarnya berita-berita itu dan dibiarkannya orang mendengarkan cerita-cerita itu, lalu ada yang menyalin dan menceritakan pula, ada berita sampah dan ada berita gemuk, macam-macam, padahal tidaklah ada perlunya bagi umat ini menerimanya, walaupun satu huruf pun.

Dan ada juga tabi'in yang menerima langsung pula berita itu dari Ka'ab al-Ahbaar, seumpama Sa'id bin Jubair, Qatadah, Masruq, Ikrimah, Muqatil, az-Zuhri, as-Suddi dan ada pula salah satu dari dua riwayat dari Ibnu Abbas.

Memang ada tersebut berita itu pada satu hadits, yang katanya dirawikan dari Ibnu Abbas. Sedianya akan kita junjung ke kepala, kita pikul ke bahu hadits itu kalau benar, tetapi sayang sanadnya tidak beres. Perawinya Hasan bin Dinar al-Bishri matruk (ditinggalkan orang) dan Ali bin Zaid bin Jad'an, haditsnya mungkar (ditolak).

Al-Qurthubi menyalin juga pendapat orang yang sama tengah, atau netral, yaitu az-Zajjaj,

"Manakah di antaranya yang nyaris disembelih itu, Allah-lah yang lebih tahu."

Penafsir-penafsir zaman sekarang, sebagaimana al-Qasimi dalam tafsirnya, Mahasin at-Ta'wil dan Sayyid Quthub dalam tafsir Fi Zhilalil Quran, dan Syekh Thanthawi Jauhari dalam tafsirnya al-Jawaahir dan tafsir dari ulama Syi'ah yang terbesar di zaman kita, yaitu Sayyid Mohammad Husain ath-Thabathabaaiy yang bernama al-Miizaan, semuanya menguatkan pendapat bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il.

Pengarang Tafsir al-Azhar ini setelah membandingkan pula kisah Nabi Ibrahim yang diterima dari pihak riwayat kaum Muslimin dengan yang tersebut di dalam kitab Perjanjian Lama yang menurut kepercayaan orang Yahudi dan Nasrani di dalam kitab itulah terdapat kitab Taurat, terutama kitabnya yang pertama Kejadian, dapatlah mengambil kesimpulan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il.

Sebab pada Pasal 16 dari Kitab Kejadian itu, terutama jelas tertulis pada ayat 15 dan 16, bahwa Hajar melahirkan Isma'il, dan usia Ibrahim (Abram) waktu itu adalah 86 Tahun. Jelas dituturkan bahwa sudah bertahun-tahun Ibrahim mengawini istrinya yang tua, Sarah, namun tidak juga dapat anak. Lalu Sarah sendiri yang menyerahkan sahayanya perempuan, orang Mesir bernama Hajar supaya dijadikan gundik oleh Ibrahim. Dikatakan dalam Pasal 16 ayat 4 bahwa baru saja dicampuri oleh Ibrahim, Hajar itu sudah mengandung. Jadi nyatalah dalam kitab itu sendiri bahwa Isma'il itulah anak yang pertama dari Ibrahim.

Kemudian dari itu dalam Kitab Kejadian itu juga, Pasal 21 sejak ayat 1 sampai ayat 5 diterangkan pula bahwa kemudiannya Sarah pun dianugerahi Allah pula anak laki-laki. Itulah yang diberi nama Ishaq. Dijelaskan bahwa umur Ibrahim ketika itu telah 100 Tahun dan umur Sarah 90 Tahun. Sebab maka Isma'il-lah anak yang tertua, lebih tua dari Ishaq 14 Tahun. Di dalam Pasal 17 ayat 20 disebutkan pula firman Tuhan demikian bunyinya, "Maka akan hal Isma'il pun telah aku luluskan permintaanmu; bahwa sesungguhnya Aku akan memberkati akan dia dan membiakkan dia dan memperbanyakkan dia amat sangat dan dua belas orang raja-raja akan berpencar darinya dan Aku akan menjadikan dia satu bangsa yang besar." Kemudian dari itu maka Pasal 22 dari Kitab Kejadian itu juga sejak ayat 2 diterangkanlah bahwa Tuhan berfirman kepada Ibrahim, "Lalu firman Tuhan ambillah olehmu akan anakmu yang tunggal itu, yaitu Ishaq yang kukasihi, bawalah akan dia ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana akan kurban bakaran di atas sebuah bukit yang akan kutunjukkan kepadamu kelak." Di dalam Pasal 22 ini tiga kali disebut bahwa Ishaq adalah anak yang tunggal dari Ibrahim.

Kalau sudah jelas di dalam kitab pegangan mereka sendiri bahwa yang hendak disembelih itu Anak Tunggal, mengapa mesti Ishaq? Padahal sebelum Ishaq lahir yang anak tunggal itu ialah Isma'il?

Besar sekali kemungkinan bahwa inilah salah satu tahriif yaitu mengubah-ubah naskah kitab suci mereka sendiri, agar sesuai dengan apa yang mereka ingini.

Ditukar nama Isma'il dengan Ishaq, tetapi kelupaan menghapuskan nama Anak Tunggal, sehingga keadaan yang timpang ini terdapat sampai kepada zaman kita sekarang ini.

Maka tersebutlah dalam suatu riwayat bahwa Mohammad bin Ka'ab al-Qurazhi adalah salah seorang ulama yang berkeyakinan bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Isma'il.

Hal ini pernah diperbincangkan atau didiskusikan di hadapan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Beliau bertanya kepada Muhammad bin Ka'ab itu yang manakah menurut pendapatnya di antara kedua anak itu yang nyaris disembelih.

Muhammad bin Ka'ab dengan tegas menjawab, "Isma‘il! Ya Amirul Mu'minin."

Lalu Khalifah menyatakan bahwa beliau pun ingin menyelidiki masalah itu lebih mendalam karena selama ini bagi beliau soal itu masih samar.

Kemudian beliau suruh jemputlah seorang Yahudi yang telah masuk Islam, dan jadi orang Islam yang baik, padahal sebelum masuk Islam, dia adalah salah seorang dari ulama Yahudi terkemuka.

Maka bertanyalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepadanya (kebetulan Muhammad bin Ka'ab ada dalam majelis itu),

"Siapakah di antara kedua anaknya itu yang nyaris disembelihnya?"

Bekas Yahudi itu menjawab,

"Isma'il! Demi Allah, ya Amirul Mu'minin. Orang Yahudi tahu akan hal itu, tetapi mereka dengki kepada kelebihan bangsa Arab, karena nenek kalian yang mendapat keutamaan itu karena kesabarannya. Mereka memungkiri itu lalu mereka putarkan kepada Ishaq, karena Ishaq nenek mereka."

Dan lagi di dalam Pasal 21 dalam Kitab Kejadian itu juga diterangkan bagaimana Sarah menjadi sangat benci dan cemburu kepada bekas budaknya yang telah menjadi madunya itu karena dia telah beroleh anak, lalu disuruhnya suaminya mengusir Hajar dan anaknya Isma'il itu. Maka supaya pertingkahan di dalam rumah tangga menjadi reda, lebih baik keduanya dipisahkan. Lalu Ibrahim membawa Hajar dan putranya, Isma'il, itu jauh-jauh, ke lembah Faran, yaitu negeri yang kemudian bernama Mekah.

Menjadi kacaulah jalan cerita setelah Hajar dan putranya. Hajar yang budak, disisihkan jauh-jauh ke Mekah, lalu Ishaq pula yang hendak dijadikan kurban.

Sehingga meskipun ada pula dikarang suatu riwayat yang dirawikan oleh Ka'ab al-Ahbaar juga, bahwa Sarah menyerahkan putranya dengan segala senang hati buat disembelih. Dia merelakan anaknya disembelih, seketika Iblis datang mengadukan kepada Sarah tentang maksud Ibrahim menyembelih anak itu. Lalu Sarah bertanya, "Mengapa anaknya hendak disembelihnya?" Iblis menjawab, "Menurut katanya dia dapat perintah dari Allah." Lalu Sarah menjawab, "Kalau memang perintah dari Allah, tidaklah Ibrahim akan ragu-ragu buat melaksanakan perintah itu. Biarlah disembelihnya." Dan seterusnya.

Abu Hurairah mengatakan bahwa cerita ini diterimanya dari Ka'ab al-Ahbaar juga.

Menurut jalan pikiran sehat pun, mesti condong pendapat kepada Isma'il.

Banyak hikmah kebijaksanaan Allah yang terkandung dengan perintah menyembelih Isma'il, setelah dia dan ibunya diasingkan jauh ke Mekah itu.

Sebab dalam Kitab Kejadian itu sendiri, apabila dibaca dengan saksama jelas sekali bahwa Sarah itu seorang perempuan yang telah tua dan sangat memperturutkan perasaan (emosional). Karena iba kasihan kepada suaminya sebab tidak juga dapat anak, dia sendiri yang mencarikan seorang budak perempuan untuk suaminya, moga-moga beliau dapat anak dengan dia, karena dia sendiri (Sarah) ternyata mandul. Tetapi setelah jelas bahwa Hajar memang mengandung sesudah digauli oleh Ibrahim mulailah bangkit iri hatinya, apatah lagi setelah anak itu lahir ternyata anak laki-laki.

Maka perintah Allah menyuruh menyembelih anak itu di tanah pengasingannya, pastilah akan menimbulkan kembali belas kasihan Sarah kepada anak itu dan ibunya. Memang banyak manusia selalu berselisih saja kalau bergaul dan bercinta-cintaan kalau sudah berjauhan, apatah lagi jika mendengar berita anak itu hampir saja disembelih.

Tambahan lagi beratus-ratus tahun lamanya, sejak Ibrahim masih hidup, Allah tetap memerintahkan mengerjakan haji ke tempat yang bersejarah itu, dengan menjadikan segenap kejadian di antara Ibrahim dengan putranya Isma'il itu menjadi bagian-bagian dari ibadah (manasik) haji.

Sampai kejadian termasuk manasik, mengerjakan sa'i di antara Shafa dan Marwah tujuh kali pergi dan balik, dimulai di Shafa disudahi di Marwah, mengingatkan bagaimana kesukaran Hajar mencari air untuk minum putranya yang masih menyusu itu, lalu timbul sumur Zamzam, sebagaimana tersebut dalam hadits.

Dan dijadikanlah udh-hiyah, yaitu berkurban pada tiap-tiap tahun, sejak hari kesepuluh sampai ketiga belas Dzulhijjah menjadi hari berkurban, mengingatkan Sunnah Ibrahim itu; dan di Mina itu pula setumpuk tanah yang diberi nama Manhar, yaitu tempat menyembelih. Dan tidak ada Manhar seperti di Mina itu di Baitul Maqdis atau di Gunung Moria.

Sa'id bin Nubair, tabi'in yang terkenal, murid dari Ibnu Abbas, termasuk yang berpendapat bahwa yang nyaris disembelih itu ialah Ishaq.

Lalu beliau riwayatkan suatu cerita, bahwa setelah Ibrahim bermimpi pada malamnya maka pagi besoknya itu juga pada 10 Dzulhijjah dia bimbing Ishaq pergi ke Mekah, terus ke Mina. Dan sampai di Mina pada hari itu juga. Maka dilaksanakannyalah penyembelihan, lalu diganti oleh Jibril dengan domba besar. Setelah selesai menyembelih domba besar itu, dibawanya Ishaq kembali sore itu juga ke Palestina dan sampai sore itu juga, melalui lurah-lurah dan gunung-gunung.

Riwayat ganjil yang menyerupai Qishshah Mi'raj ini hanya diriwayatkan oleh Sa'id bin Jubair saja, untuk menyesuaikan adanya Mina tempat penyembelihan dengan Ishaq yang nyaris disembelih.

Banyak juga hadits lemah diriwayatkan orang berkenaan dengan riwayat penyembelihan ujian ini.

Tetapi ada satu yang agak dapat diterima, yaitu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad bin Hambal dari hadits Ibnu Abbas,

Bahwa sampai tiga kali setan mencegah dan memperdayakan Ibrahim di tengah jalan ke tempat penyembelihan. Namun ketiga kalinya dapat diatasi oleh Ibrahim, setan itu diusirnya dengan melempari dengan batu. Selanjutnya melontarkan batu pada Jumrah yang tiga, al-Ula (Yang Pertama) al-Wushthaa (Yang Tengah) dan al-Aqabah (Yang Terakhir), dijadikan pelengkap manasik haji.

Dan ada pula sebuah hadits bahwa Nabi Muhammad saw. menyebut dirinya "Anak dari dua orang yang nyaris disembelih" (ibnudz dzabihaini). Karena ayahnya, Abdullah seketika telah lahir sebagai anak bungsu, hendak dikorbankan pula oleh ayahnya Abdul Muthalib, karena ada mimpi. Tetapi kemudian ditebusnya dengan seratus ekor unta.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 503-507, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bersatu bukanlah persatuan paham yang dipaksakan; bersatu ialah hormat-menghormati sebab Nabi sendiri di dalam hadits-hadits yang kita salinkan tadi tetap menyatakan bahwa, walaupun telah berpecah menjadi 73 partai, semuanya itu masih tetap beliau sebut "umati" umatku!

Dan terkadang timbul perselisilan yang membawa perpecahan karena masalah furu' (ranting) yang membawa juga pada permusuhan dan dendam kesumat.

Di sinilah kita berjumpa suatu ujung yang sulit.

Kalau soal-soal demikian tidak dibicarakan, timbullah kebekuan dalam agama dan terhentilah penyelidikan mencari mana yang lebih dekat kepada sunnah, artinya terhentilah penyelidikan agama secara ilmiah.

Namun biasanya pula, kalau telah mulai dibicarakan, timbullah perselisihan, ada yang membantah dan ada yang mempertahankan.

Kemudian, timbul ta'ashshub.

Berkeras mempertahankan pendirian, baik pendirian mempertahankan maupun pendirian merombak.

Di sinilah asal-usul berkaum muda dan berkaum tua.

Maka, timbullah apa yang diperingatkan Allah dalam Al-Qur'an dijelaskan oleh Nabi dalam hadits tadi, yaitu berpecah-belah dan bergolong-golongan.

Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya satu yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya.

Sehingga perpecahan bertambah hebat.

Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya.

Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga.

Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik.

Pedoman ini telah diberikan Allah  pula di dalam surah al-Hujuraat ayat 11. Yaitu, supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain dan segolongan perempuan jangan menghina golongan perempuan yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalannya yang lebih baik daripada amalan si penghina itu.

Oleh sebab itu, supaya pikiran kita yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai dengan kehendak Rasulullah saw.

Kita pakailah akal, ijtihad mashalihil mursalah, qiyas, istihsan dan sebagainya.

Dengan demikian, kita mengharapkan selalu semoga hasil yang kita usahakan itu sesuailah hendaknya dengan kehendak Allah dan Rasul.

Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkannya.

Karena barangkali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki.

Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah.

Karena, kerapkali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 350, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya ditaati dengan izin Allah." (pangkal ayat 64).

Kedatangan Rasul bukanlah semata buat dipuja-puja, padahal pimpinannya tidak dituruti.

Orang yang mengakui Rasul, tetapi ajarannya tidak diikuti adalah munafik.

Sekalian Rasul, bukan Muhammad saja, bahkan sejak pimpinan agama diturunkan Allah, semua diutus Allah adalah buat dipatuhi.

Barangsiapa yang mengelak-elak atau separuh-separuh keluarlah dia dari lingkungan aturan Allah.

Di ujung diberi ikatnya, yaitu dengan izin Allah.

Diberi "ikat" dengan kata "izin Allah" supaya jelas bahwa yang ditaati bukanlah zat dari Rasul, dengan tidak bersyarat.

Rasul ditaati sebab dia menjalankan perintah Allah.

Sebab itu menaati syari'at yang dipimpinkan Rasul, berarti menaati Allah. Karena itu diizinkan taat kepada Rasul.

Mendurhakai Rasul artinya mendurhakai Allah.

Sebab Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan perintah Allah.

"Dan jikalau mereka itu, sesudah aniaya atas diri mereka, datang kepada engkau, lalu mereka memohonkan ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun (pula) buat mereka, niscaya akan mereka dapati Allah itu adalah Pemberi Tobat lagi Penyayang."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 354, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DAKWAH

Setengah ahli tafsir mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan al-khairi yang berarti kebaikan di dalam ayat ini ialah Islam; yaitu memupuk kepercayaan dan iman kepada Allah, termasuk tauhid dan ma'rifat.

Dan itulah hakikat kesadaran beragama yang menimbulkan pengetahuan untuk memperbedakan yang baik dengan yang buruk, yang ma'ruf dengan yang mungkar.

Selanjutnya ialah timbul dan tumbuhnya rasa kebaikan dalam jiwa, yang menyebabkan tahu pula dan berani menegakkan mana yang ma'ruf dan menentang mana yang mungkar.

Kalau kesadaran beragama belum tumbuh, menjadi sia-sia sajalah menyebut yang ma'ruf dan menentang yang mungkar.

Sebab, untuk memperbedakan yang ma'ruf dengan yang mungkar tidak lain dari ajaran Allah.

Oleh sebab itu, dapatlah diambil kesan bahwa di dalam mengadakan dakwah, hendaklah kesadaran beragama ini wajib ditimbulkan terlebih dahulu.

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma,

Sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).